10. Agresif

437 73 6
                                    

Aldev tak bisa tidur malam itu. Kepalanya dipenuhi oleh berbagai rencana yang akan ia lakukan pada Lila. Sebenarnya semua rencana sudah tersusun dalam kepala. Dirinya pun sudah berkonsultasi dengan kuasa hukum keluarganya mengenai perceraian Lila dan suaminya. Ia hanya tak sabar menunggu esok hari. Rasanya, ia ingin semua urusan itu diselesaikan dalam sekejap mata. Menyadari bahwa Lila masih berstatus sebagai istri orang lain membuatnya kesal setengah mati.

Menjelang dini hari, ia pun menyerah mencoba tidur. Ia bangkit dari tempat tidur dan pergi ke dapur untuk menyeduh kopi. Ohh, meski tak pandai dalam urusan dapur, kalau hanya sekedar menyeduh kopi saja ia bisa karena memang ada coffe maker di sana.

Setelah kopinya jadi, ia tetap berada di dapur, menikmati kopinya. Di kejauhan ia mendengar angin berembus kencang, lalu jendela dan pintu dapur bergetar seperti diguncang dengan keras.

"Hmm, badai," ujarnya lirih.

Ia sendiri tidak takut badai. Bahkan, menyukai sensasi menegangkan dari situasi itu, tetapi saat itu ia berharap badai segera pergi karena bila badai terus berlanjut hingga pagi hari, maka perjalanan pulangnya akan terganggu. Dan itu artinya dirinya harus menunda semua rencananya.

Dengan hati dongkol ia menenggak habis kopinya, lalu meninggalkan cangkir kopinya begitu saja di atas meja pantry. Lalu, tanpa tujuan yang jelas ia berderap cepat menuju kamar Lila.

Ia berhenti di depan pintu kamar Lila dan berdiri mematung di sana seperti orang gila. Kepalanya memerintahkan untuk mengetuk kamar itu dengan keras agar Lila keluar, tetapi akal sehatnya yang masih waras mengatakan bahwa seharusnya dia menunggu saja di situ sampai Lila keluar dengan sendirinya.

Tapi, kenapa Lila harus ke luar kamar sebelum pagi menjelang? pikirnya bertanya.

Bodoh! Siapa tahu dia tiba-tiba saja kelaparan atau ingin buang air. Karena kamar yang Lila tempati tidak memiliki kamar mandi pribadi di dalamnya. Itu karena Lila terlalu konyol hingga ketika Aldev memintanya memilih sendiri kamar yang akan dia tiduri, dia justru memilih kamar pembantu yang berada di bagian  samping belakang dapur.

Badai di luar kian mengamuk. Aldev bisa mendengar suara ombak yang memecah karang di luar dan angin kencang yang bersahut-sahutan.

Dulu, dirinya dan Aldebaran akan langsung naik ke ruang loteng dan menyaksikan badai itu bersama. Mereka berpendapat bahwa badai adalah peristiwa alam yang membuat mereka takjum. Namun, saat ini Alde pasti sedang sibuk dengan istrinya sendiri ketimbang memikirkan melihat badai.

Selama sesaat Aldev merasa dirinya kesepian. Ternyata ditinggal menikah lebih dulu oleh saudara kembarnya merupakan akhir dari keseruan masa muda mereka. Itu tak pernah ia perkirakan sebelumnya. Karena dulu, mereka berdua sudah seperti soulmate. Namun, ia bersyukur Aldebaran akhirnya menemukan tambatan hati. Setidaknya, dia bahagia, batinnya.

Akhirnya, ia pun memutuskan untuk kembali ke kamar dan mencoba tidur, tapi sebelum tubuhnya berbalik pergi, ia mendengar suara jeritan dari dalam kamar Lila.

Tanpa pikir panjang, Aldev langsung menendang pintu kamar Lila hingga terbuka. Ohh, itu berlebihan sekali, tapi ia tak peduli. Lila menjerit dan dirinya takut sesuatu yang buruk terjadi pada wanita itu.

Lila meringkuk di atas tempat tidur. Seluruh tubuhnya ditutup selimut hingga kepala. Sesekali jerit ketakutan lolos dari bibirnya tatkala angin kencang menghantam jendela kamarnya.

"Lila." Aku langsung ke tempat tidur, menyingkap selimut yang menutupi wajahnya, lalu memeluknya. "Ini hanya badai. Jangan takut."

"Badai?" Lila bertanya suara lirih gemetar. Kedua tangannya yang kurus mencengkeram bagian depan kemeja Aldev seolah dengan begitu ia

Sandaran HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang