8. Tatapan

369 68 8
                                    

Beberapa hari berada di pulau membuat perasaanku tak nyaman. Bukan tentang tugasku menjaga seseorang dengan gangguan mental penyebabnya, tetapi adik ipar dari wanita itulah yang membuat aku merasa tak enak hati.

Dalam setiap kesempatan, di mana kami berada dalam satu ruangan, dia selalu menatapku dengan sorot yang membuat sekujur tubuhku rasanya bergetar. Tatapannya tajam seperti elang yang ingin menerkam mangsanya. 

Aku sudah bertanya mengapa dia terus menatapku dengan cara seperti itu, tetapi dia malah balik bertanya, "kau yakin aku sedang memandang mu?"

Huh! Membuat aku frustrasi saja. Padahal, aku sangat yakin bila arah matanya tertuju padaku, tetapi aku tak bisa mendesaknya mengaku tanpa mempermalukan diriku sendiri.

Seperti saat ini, aku sedang mendampingi Kak Kania menonton TV selepas makan malam dan lelaki bernama Aldev itu pun ada bersama kami dalam ruangan yang sama. Dia duduk sedikit menjauh, tetapi arah pandangannya—aku seratus persen yakin—mengarah padaku.

Beberapa kali aku mencoba mengabaikan itu, tetapi lama-lama aku merasa risih juga terus ditatap dengan ganas seperti itu. Aku merasa diintai, dimata-matai, dan—ohh, apakah aku layak mengatakan bahwa aku serasa ditelanjangi?

Jujur, suamiku saja tak pernah menatapku dengan cara seperti itu. Aku tak berani menyebut dia tertarik padaku. Itu mustahil. Aku mempunyai suami dan sedang hamil besar. Beberapa kali dia juga menyebut bahwa matanya tidak buta hingga tak bisa melihat perutku yang buncit. Itu semacam penegasan bahwa dia tak akan pernah tertarik padaku. Akan tetapi, tatapan itu ....

"Kak Kania." Aku menyentuh lengan wanita yang harus aku jaga itu, membuat dia menoleh dan mendelik ke arahku. "Sudah larut, kita ke kamar, yuk?"

Wanita itu menggeram, tetapi tetap menurut. Dia melempar remote di tangannya ke sofa, lalu berjalan cepat mendahului aku ke kamar.

Aku mengikutinya dari belakang, tetapi tidak langsung menyusulnya ke kamar. Aku pergi ke dapur lebih dulu untuk mengambil air putih karena ada beberapa obat yang harus diminum Kak Kania sebelum tidur.

Saat aku masuk ke kamarnya, Kak Kania sedang duduk di kursi sembari menatap ke luar jendela. Dari bibirnya keluar senandung yang tak bisa aku tangkap liriknya.

"Kak, minum obat dulu, ya?" Aku meletakkan obat dan air putih ke meja hadapan Kak Kania. Biasanya, Kak Kania bisa meminum sendiri obatnya tanpa aku bantu, jadi aku meninggalkannya untuk menutup beberapa jendela yang masih terbuka dan gordennya.

"Aku ke luar dulu, ya, Kak. Sekalian mau ke toilet," ujarku lembut. Aku tahu, aku seharusnya memastikan dia meminum obatnya, tetapi efek kehamilan yang sudah besar membuatku seringkali tak bisa menahan buang air kecil. Jadi, aku pergi ke toilet sebentar yang berada di koridor yang menuju dapur.

Setelah selesai dengan hajatku, aku berniat kembali ke kamar Kak Kania, tetapi aku mendengar suara mengaduh dengan keras dari ruang keluarga. Jadi, aku pun bergegas ke sana.

"Kenapa?" Aku bertanya panik. Aku pikir terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan atau apa.

"Lihatlah remote ini." Aldev menunjukkan remote yang selalu dipakai Kak Kania untuk mengganti-ganti channel TV ternyata berlubang-lubang di bagian tombolnya. Rupanya Kak Kania tidak hanya suka memencet-mencet tombol itu, tetapi sekaligus mengorek-ngorek karetnya dengan kuku hingga terkikis dan berlubang.

"Itu ...." Aku tak bisa menahan tawa begitu juga Aldev.   Kami berdua terbahak bersama melihat nasib naas remote itu. Lalu, tiba-tiba saja terdengar teriakan marah Kak Kania.

Baru saja aku berniat balik ke kamar untuk melihat kondisinya ketika dia tiba-tiba saja sudah merangsek maju, menyerang Aldev.

Aldev terjengkang di kursi, sementara Kak Kania berada di atasnya, mencekik lehernya. Aku panik. Aku berniat menolong, tetapi Aldev memberi isyarat agar aku tetap di tempat. Duh, aku harus bagaimana?

Aku bingung harus meminta tolong pada siapa. Kami berada jauh di tengah lautan, otomatis tidak akan ada yang mendengar teriakanku, tapi aku harus berbuat sesuatu. Aldev bisa mati kehabisan napas bila dicekik sekencang itu.

Akan tetapi, sebelum aku menemukan ide bagimana cara menarik Kak Kania, pintu depan terbuka. Seseorang dengan wajah identik dengan Aldev masuk. Dia terdiam sesaat melihat kondisi yang ada.

Setelah menyadari bahwa Kak Kania menyerang saudara kembarnya, dia pun langsung maju, menyentuh tangan Kak Kania yang mencekik Aldev sembari berkata lembut, "Sayangku, hentikan ini, tanganmu bisa sakit."

Ajaib! Kak Kania seketika membeku. Dia mengendurkan cekikan di leher Aldev, lalu berbalik badan menghadap saudara kembar Aldev.

Kak Kania terdiam cukup lama, mengamati sosok yang baru saja tiba. Mungkin, dia bingung mengapa suaminya ada dua. Aku pun akan bingung bila berada di posisinya karena Aldev dan saudara kembarnya benar-benar mirip, hampir sulit dibedakan.

Awalnya, aku mengira emosi Kak Kania sudah mulai stabil, nyatanya Kak Kania justru menerjang maju dan mencakar pipi suaminya. Aku langsung ngilu melihat luka cakar di kedua pipi suami Kak Kania. Di masing-masing pipinya ada tiga baris luka cakar dengan kulit terkelupas yang mulai mengeluarkan darah.

Aku syok hingga tak bisa berkata-kata. Apalagi saat Kak Kania menambah luka itu dengan tamparan beberapa kali di kedua pipi suaminya itu, sebelum berlari pergi dan kembali ke kamar.

"Apa salahku?" Saudara kembar Aldev bertanya dengan suara merana. Aku kasihan melihatnya, apalagi darah di kedua pipinya mulai merembes.

"Itu berdarah." Aku berkata sambil menunjuk ke arahnya. "Sebaiknya segera diobati. Saya akan mengambil kotak P3K dan mem—"

"Tidak usah!" Aldev berteriak. "Kau mau memancing kemarahan istrinya lagi!? Kau pikir kenapa dia menyerangku tadi? Itu karena dia berpikir aku adalah dia!"

"Ohh, maaf," jawabku cepat. Aku benar-benar tidak sampai terpikirkan bahwa mungkin Kak Kania cemburu padaku. Seharusnya aku tahu bahwa Aldev di sini sedang berpura-pura menjadi suaminya dan dia pasti merasa terluka saat aku justru bersenda gurau dengan lelaki yang ia kira suaminya.

Aku berkedip beberapa kali, lalu menatap bergantian Aldev dan saudara kembarnya. Tatapanku berhenti pada luka di pipi saudara kembar Aldev yang sudah sepenuhnya memerah. "Tapi, itu—"

"Dia bisa mengurus dirinya sendiri." Aldev bangkit dari kursi, menghampiri aku. "Biarkan mereka menyelesaikan urusan rumah tangga merek sendiri. Ayo, kita pergi!" Dia menarik pergelangan tanganku, menarik ku keluar.

"Tunggu! Jangan ditarik." Aku mencoba menarik lepas tanganku, tetapi dia memegang pergelangan tanganku terlalu kuat. "Sakit." Setelah aku mengatakan itu, barulah dia berhenti dan mengucap maaf.

"Maaf," ujarnya. Sorot matanya menunjukkan penyesalan yang nyata. "Apa aku menyakitimu?" Dia bertanya dengan suara pelan nan dalam.

"Tidak, tapi kupikir sebaiknya kita mengobati luka saudaramu."

"Lila." Aldev mendekat ke arahku, memaksaku mundur hingga punggungku menabrak benda keras yang aku perkirakan sebuah pohon palem. "Aku juga dicekik sampai hampir mati. Leherku sakit. Kenapa kau tidak berusaha mengobati aku?"

"Ohh." Aku terkejut dengan ucapannya. Apalagi ketika dia semakin mendekatkan wajah ke arahku. "Ma-maaf," ujarku cepat sembari mengamati lehernya yang menurut pengamatanku baik-baik saja. Tidak ada luka lecet, memar, atau apa pun. "Bagian mana yang sakit?"

Dia tak menjawab, malah terus mengamati wajahku dengan sorot kelaparan seperti yang selalu dia tunjukkan setiap berada di sekitarku. Aku terkesiap saat kokoh dadanya menyentuh dadaku, sementara tubuhnya terus mendesak maju.

Aku bisa merasakan hangat tubuh dan desah napasnya. Meski dada kami saling menempel, tetapi dia cukup bijak untuk tidak terlalu menekan perutku. Lalu, tanpa banyak kata, sebelah tangannya memegang daguku, memaksaku mendongak. Seketika aku menahan napas, tak kuasa bertatapan dengan matanya yang kelam dan dalam.

Aku tak bisa berpaling. Aku ingin berpaling. Kedekatan ini tidak boleh terjadi. Aku harus mempertahankan harga diriku sebagai seorang wanita yang sudah bersuami. Oke, suamiku kasar dan aku memang kabur darinya, tetapi kami belum resmi bercerai. Jadi, statusku masih sah istrinya.

Aku tak mau menjadi wanita jalang. Aku wanita baik-baik! Aku terus menjeritkan kalimat itu dalam kepalaku saat wajah Aldev makin turun. Ohh, tidak! Dia mau apa lagi, ya, Tuhan?

***

Sandaran HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang