14. ANCAMAN DOKTER FADLI

429 53 6
                                    

Isah dan Lilis melihat saat Tazkia berlari dari arah pintu utama lalu menaiki tangga dengan tergesa, bahkan setelah sebelumnya mereka baru saja selesai membenahi kamar sang majikan yang berantakan akibat amukan Regi.

Mereka tahu bahwa suasana hati majikan laki-lakinya itu sedang tidak baik dan sekelebat ingatan tentang apa yang diucapkan Bi Inah pembantu lama pada mereka kembali terngiang dalam ingatan.

"Biasanya, Pak Regi akan melakukan hal itu sama Bu Tazkia kalau suasana hatinya lagi buruk atau marah,"

Dan karena hal itulah, kini mereka jadi mengkhawatirkan nasib majikan perempuan mereka, Bu Tazkia.

"Kita nggak bisa diem aja Sah, kita harus tolongin Bu Tazkia," ucap Lilis dengan wajah cemasnya.

"Ya tapi gimana caranya? Kita cuma pembantu di sini?" Isah jadi bingung sendiri.

"Apa kita lapor polisi aja kali ya?"

"Semprul!" Isah langsung menoyor kepala Lilis. "Kamu mau dibunuh Pak Regi? Aku sih ogah! Aku masih mau hidup! Adikku-adikku masih butuh aku untuk bayar biaya sekolah,"

"Terus kalau Bu Tazkia kenapa-napa gimana?" Lilis jadi menangis. Apa yang diceritakan Bi Inah pada mereka terlebih setelah dia melihat sendiri ruang rahasia yang dimaksud Bi Inah itu, Lilis yakin bahwa nasib majikannya itu kini sedang dipertaruhkan. Padahal, Tazkia itu sangat baik pada mereka.

"Sini ikut aku," kata Isah yang menarik lengan Lilis untuk berjalan mendekat ke arah kamar majikannya itu.

Dan mereka menguping di sana.

Hingga jeritan Tazkia terdengar, membuat Lilis tiba-tiba memiliki sebuah ide.

Lilis langsung mengajak Isah kembali turun ke bawah dan membisiki Isah akan ide yang dia miliki.

Isah pun mengerti dan mengangguk paham.

"Oke, aku hitung mundur, kamu langsung menjerit ya?" Perintah Lilis pada Isah.

Isah menarik napas dalam-dalam, sementara Lilis menghitung mundur memberi aba-aba.

"Tiga, dua, satu," Lilis memberi isyarat melalui gerakan tangan dan mulutnya yang menganga agar Isah mengeluarkan jeritan super yang dimilikinya.

Dan Isah pun menjerit sekuat tenaga, sekencang-kencangnya.

Napas pembantu itu terengah setelah dia menjerit satu kali.

Lilis menoleh ke arah kamar sang majikan, tapi belum ada tanda-tanda apapun dari sana.

"Kurang keras, ayo menjerit sekali lagi,"

Dan Isah pun kembali menjerit untuk yang kedua kali hingga setelahnya, kedua pembantu itu mendengar suara bel pintu utama berbunyi.

"Ada tamu, Sah," kata Lilis yang langsung bergerak ke arah pintu diikuti oleh Isah di belakang.

"Selamat malam, maaf mengganggu. Saya ke sini ingin bertemu dengan Bu Tazkia. Apa benar ini rumah Bu Tazkia?" Tanya seorang lelaki berjas hitam yang datang bertamu.

Dari penampilan lelaki itu yang cukup rapi, Lilis dan Isah bisa menebak kalau lelaki itu bukan lelaki sembarangan.

"Iya benar ini rumah Bu Tazkia. Mas siapa ya?" Tanya Lilis.

"Saya tukang ojek online. Tadi Bu Tazkia naik ojek saya tapi dia membayar lebih, jadi saya mau mengembalikan," jelas lelaki itu lagi apa adanya.

Saat itu, Lilis baru mau bicara, tapi suara lain dari arah belakang yang terdengar membuat bibir Lilis langsung bungkam dalam sekejap.

"Isah, Lilis, suara siapa tadi yang berteriak?" Tanya Regi dengan suara yang cukup lantang.

Kedua pembantu itu menoleh dan Lilis langsung tertunduk takut.

"Ma-maaf Pak. Tadi, saya cuma bercanda menakut-nakuti Isah, makanya Isah berteriak," jawab Lilis mengakui kesalahannya.

Kedua pembantu itu menunduk saling sikut-sikuttan.

Tak mengindahkan kalimat Lilis, perhatian Regi justru tersita pada sosok lelaki berkemeja hitam di sana. Berdiri di hadapan Isah dan Lilis.

Regi jelas mengenal siapa lelaki itu.

Dokter sombong yang sudah menolak pemberian cek darinya.

Cih!

"Ada tamu?" Tanya Regi lagi seraya berjalan lebih dekat.

"Iya Pak, katanya ada perlu sama Bu Tazkia," jawab Lilis lagi.

Kening Regi berkerut. Menatap dingin sosok Fadli yang juga sedang menatapnya.

Menyuruh kedua pembantunya itu menyingkir, kini Regi sudah berdiri tepat di hadapan Fadli dengan jarak yang terbilang cukup dekat.

Kedua tatapan lelaki itu bertemu.

"Selamat malam Pak Dokter, ada perlu apa ke sini?" Tanya Regi dengan senyuman ramah yang dipaksakan.

"Saya ingin bertemu dengan istri anda. Apa Bu Tazkia ada?" Jawab Fadli yang menyadari bahwa dia sudah salah duga, menyangka bahwa teriakan yang dia dengar adalah teriakan Tazkia, nyatanya itu adalah teriakan pembantu Tazkia. Berhubung sudah kepalang tanggung, jadilah Fadli sekalian saja bertamu untuk mengembalikan uang kembalian itu.

Sebelah alis hitam Regi meninggi. "Ada perlu apa dengan Tazkia malam-malam begini?" Tanya Regi dengan segelintir perasaan tak suka.

"Hanya ingin mengembalikan uang kembalian, Pak Regi. Tadi Bu Tazkia memakai jasa ojek online saya dan membayar kelebihan. Kelebihannya sangat banyak, makanya mau saya kembalikan," ucap Fadli dengan polosnya.

Mendengar ucapan polos sang Dokter, Regi malah tertawa. Tawa yang terkesan merendahkan.

"Anda mau mengembalikan uang kembalian yang tidak seberapa, sementara uang puluhan juta yang saya berikan pada anda, akhirnya anda terima juga. Atau, kedatangan anda ke sini sekarang cuma untuk menegaskan bahwa uang yang saya berikan kemarin itu kurang?" Ucap Regi yang semakin dibuat kesal, sekaligus gemas dengan tingkah laku dokter bernama Fadli ini.

Sok alim, sok baik, sok jujur, tapi ternyata tetap saja mata duitan!

"Saya tidak pernah menerima uang itu, Pak. Saya sudah mengembalikan cek itu melalui Bu Tazkia, karena anda yang terus mengirimnya kembali pada saya padahal saya sudah berkali-kali menolaknya,"

Dan ucapan Fadli kali ini sukses memancing amarah Regi ke permukaan yang tertinggi.

Dengan tatapan bengis, Regi mendekat, lalu mencengkram kerah kemeja Fadli, setengah mencekik. "Jangan macam-macam dengan saya, apalagi anda mencoba mencari celah untuk mendekati istri saya! Saya pikir, Dokter Ilham sudah menjelaskan baik-baik pada anda siapa saya sebenarnya, tapi kenapa anda ini sepertinya sangat senang mencampuri urusan orang, hah? Apa motif anda sebenarnya?" Ucap Regi dengan kedua gigi gerahamnya yang menyatu, rahang mengeras dan tatapan membunuh.

Sayangnya, ucapan Regi, maupun tindakan lelaki itu tak sama sekali membuat Fadli takut. Tangan Fadli mencengkram balik pergelangan tangan Regi, membuat lelaki itu mengendurkan cengkramannya di kerah kemeja Fadli hingga kemudian menarik tangannya dari sana. Regi sedikit meringis, memegangi pergelangan tangannya yang memerah akibat cengkraman Fadli.

"Saya hanya ingin, anda memperlakukan istri anda dengan baik! Saya sudah memegang kartu mati anda! Jangan macam-macam jika anda tidak ingin nama baik anda tercemar di media, karena hasil pemeriksaan asli terhadap istri anda, sudah saya buat, beserta hasil visumnya! Saya hanya perlu melaporkan hal ini pada pihak kepolisian agar hasil visum itu benar-benar bisa saya keluarkan!"

Mendengar hal itu, tubuh Regi seketika membeku di tempat.

*****

Yang suka, hayuk di vote dan komen ya...

Salam Herofah...

BAGAIMANA RASANYA TIDUR DENGAN SUAMIKU? (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang