Ini Gratis kan?

0 0 0
                                    

Dalam kamar yang tidak gelap, Terry sedang memutat otak dengan sangat keras.

"Berat, berat..."

Sesekali dia selalu bergumam begitu kadang,

"Susah, susah... "

Vivi jadi penasaran, kamar mereka kan sebelahan hanya dipisahkan tembok, jadi mau ga mau selalu terpaksa ikut mendengarkan keluh kesah Terry. Sebenarnya kalau Terry tidak setengah berteriak sih, suara masih bisa teredam tembok tapi ga tahu kenapa anak ini kalau mengeluh seperti sedang bernyanyi di ruang karaoke, kencang banget. Mungkin dia berharap ada mahluk yang mendengar kemudian membantunya, seperti di komik.

Vivi yang ingin tidur jadi kesal karena, saat ini sudah hampir tengah malam, suara keluhan masih terdengar,

"Ahh...susah susah..."

Vivi tidak sabar lagi, ia melompat turun dari kasurnya yang empuk langsung menggedor kamar Terry.

"Jam berapa ini? Ributnya besok saja!"

Terry membuka pintu kamarnya.

"Ada apa sih, daritadi mengeluh terus, udah tengah malam tauk."

"Namanya susah itu ga pandang waktu sepupuku sayang, kecuali kamu mau bantuin aku. Kamu bakal mendengar keluh kesahku sepanjang malam," ancam Terry dengan lembut.

Vivi langsung sadar, teriakan tadi memang ditujukan untuk mengganggu tidurnya. Tapi apa yang bisa dia bantu? Dia masih SMA, bukan anak pinter juga, pengalaman hidup juga pas-pas an.

"Memangnya aku bisa bantu apa?"

"Mau versi pendek atau panjang?"

"Pendek saja, mau tidur. Ngantuk berat, mana besok ada ujian Fisika."

Terry menjulurkan tangannya, dengan telapak tangan terbuka lebar.

"Ih, apaan sih? Mau suruh aku baca garis peruntunganmu? Ya memang sih akhir-akhir ini aku sedikit mendalami ilmu ramal meramal karena sedang tren di sekolah... Mana-mana sini coba kubaca. Cuma minta meramal saja pake ribut kamu, Ko," balas Vivi mulai berceloteh. Dia dasarnya kalau sudah mulai bicara seperti sepeda yang remnya blong saat turun gunung.

"Bukan kali, siapa yang mau kamu ramal? Eh tunggu mungkin boleh juga. Bagaimana garis peruntunganku besok? Apa akan ada rezeki tak terduga?" balas Terry jadi tertarik.

"Yee.. namanya meramal itu ga bisa langsung tahu besok, ini ramalan untuk jangka waktu yang tidak bisa ditentukan, seperti kamu bakal mengalami kebotakan atau tidak. Hmm sepertinya kamu termasuk yang bakal botak...," balas Vivi mulai meneliti garis tangan Terry.

Terry langsung menarik tangannya.

"Ramalan jelek, udahlah mainnya. Ini serius," kata Terry

Vivi merenggut, dia itu cukup serius dalam ramal-meramal. Selama hasil ramalannya menyenangkan dia, itu pasti  benar. Kira-kira begitulah pikiran Vivi, jadi jangan dikatakan mainan. Ini hal serius buat dia, kalau hasilnya bagus.

"Maksudku minta, eh pinjam uang. Lagi tekor nih, bulan ini cuma sisa 50 ribu. Mana masih seminggu. Bagaimana coba? Untuk makan di kampus aja kurang nih kalau seminggu, belum lagi misal kalau ada komik baru terbit," jelas Terry akan permasalahannya.

"Udah gede kok malah minjam duit sama anak kecil. Ga ada duit tuk dipinjemin," tolak Vivi tegas.
"Huh, kalau soal begini saja langsung ngaku masih kecil. Ya kalau gitu, minta deh,"

Vivi melotot,

"Minta sama mama tuh, mungkin saja dikasih," satan Vivi.

Terry menggeleng,

Terry And Pren seriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang