II.

431 157 21
                                    

Present time...

Aku menepuk-nepuk serum yang baru saja kuaplikasikan di wajahku, yang sedang berjerawat di beberapa bagian. Sudah berapa hari ini pikiranku sedang ruwet karena banyaknya pekerjaan yang menguras tenaga dan waktuku.

Selanjutnya aku mengeringkan rambutku sekali lagi, memastikan semuanya kering, menggunakan hair dryer. Aku berusaha bergerak dengan cepat supaya bisa sampai kantor tidak terlalu siang.

Aku mematikan hair dryer-ku dan mendengar bunyi kaca saling berdenting di dapur. Mengernyitkan alisku, aku meletakkan hair dryer-ku di tempat semula, lalu mematikan lampu kamar mandi dan keluar.

Aku melongok ke arah dapur dari lantai atas, dan mendapatkan Choi Mujin sedang mondar mandir di dapurku, sibuk membuat sesuatu untuk mengisi perutnya. Ia hanya menggunakan kemeja putih tanpa dasi, satu kancingnya terbuka, celana resmi berwarna hitam dan tanpa alas kaki. Aku bisa melihat ia meletakkan dasi dan jasnya di sebuah kursi di meja makanku.

Aku memutar mataku dan berjalan ke dapur.

"Sudah berapa lama kamu disini?" tanyaku, membuka counter tempatku menyimpan gelas dan mengambil satu gelas.

Tanpa memandangku, ia tersenyum dan menjawab,

"Pagi ini aku ada rapat di gedung dekat rumahmu. Aku lapar, jadi aku memutuskan untuk mampir."

Memang sama sekali bukan hal yang baru dan aneh bahwa Choi Mujin berkunjung di rumahku. Pagi, siang, sore ataupun malam, alias kapanpun dia mau, cuma sekedar untuk makan, memasak sendiri atau mencuri makanan milikku di kulkas, atau minum alkohol.

"Terserah. Kamu sekaya itu, tapi lebih memilih makan di rumah orang lain. Kalau tidak aneh bukan Choi Mujin namanya," gumamku sendiri, yang menghasilkan tawa kecil dari Mujin. "Ya. Kamu kesini bukan karena urusan dengan pacarmu itu berantakan kan? Karena aku terburu-buru dan tidak sempat mendengarkan curhatanmu jika iya."

"Sudah kubilang berapa kali, dia itu bukan pacarku. Setidaknya belum. Kami hanya baru dekat saja."

"Syukurlah. Kalau begitu kamu pasti tidak patah hati, kan?"

"Tentu saja tidak," jawabnya santai.

Mujin memotong roti yang ia baru selesai panggang, lalu memasukkannya ke mulutku.

"Mmm," gumamku, yang lalu menjilat bibirku. "Mashitta."

"Kamsahamnida," jawab Mujin dengan nada bangganya.

"Untukku saja," ujarku, merebut piring di hadapan pria itu dan membawanya ke ruang tengah di samping dapur. "Kamu masih disini kan? Masaklah sesukamu. Aku baru saja belanja dua hari yang lalu."

"Mina-ya, rotiku..."

"Jinjja? Relakan saja."

"Aish. Arasseo. Aku akan menggeledah isi kulkasmu."

Aku tersenyum melihat punggung indahnya dari tempat dudukku. Punggung Mujin sangat lebar. Kita pernah beberapa kali berpelukan, bahkan berciuman. Tapi kurasa itu terjadi karena kita sama-sama kesepian. Kita berdua juga seringkali bermasalah dengan lawan jenis yang dekat dengan kita. Mujin selalu bercerita kepadaku, begitupun aku kepadanya.

Selesai memakai sepatu hak tinggiku, aku pergi ke dapur sekali lagi untuk meminum air putih dan mengambil tas laptop yang kutinggalkan di kitchen island tadi.

"Aku kesal sekali melihatmu memakai rok itu," celetuk Mujin yang sedang bersantai di kursi meja makan.

Ia tiba-tiba merunduk dan menurunkan risleting di bagian bawah kiri rok-ku yang bisa disetel untuk menentukan belahan roknya, sempit atau lebar.

"Jangan berpakaian terlalu terbuka," ucapnya galak, lalu memalingkan wajahnya.

"Mujin-ah... Aku sudah dewasa. Lagipula, aku juga tidak melempar diriku ke kerumunan pria."

"Dasar keras kepala. Terserah kamu saja."

Mujin bangkit dari duduknya, dan mengangkat ponselnya yang berdering.

Fiuh. Untung saja ada telepon itu. Atau tidak pembicaraan kami akan canggung—untuk yang kesekian kalinya. Mujin memperhatikanku dengan caranya yang menurutku sangat polos dan juga tulus. Aku merasa seperti memiliki kakak tertua yang lebih-lebih perhatian daripada kedua orangtuaku.

Yakin sudah terlambat, aku bergerak cepat tapi tidak terburu-buru. Aku memegang lengan Mujin, dan mengecup pipinya. Cup. Ia menarik tanganku lalu mengecup singkat bibirku, sambil mendengarkan orang yang berbicara di panggilan itu. Mujin berhasil membuat pipiku merona. Entah berapa kali kami sudah berciuman bibir walaupun santai dan tanpa maksud, tapi hati kecilku selalu tergelitik.

"Aku berangkat," bisikku.

"Hati-hati. Call me if you need anything," ucapnya pelan.

"Hmm. Baiklah."

Aku tersenyum dan berjalan menuju pintu rumahku.  Aku memasrahkan rumahku kepada Mujin selayaknya ia adalah pemiliknya yang kedua. Ia bisa datang dan pergi sesukanya, dan aku yakin karena ia orang yang sangat sibuk, setelah aku pergi dia juga pasti akan pergi.

******

A.N.
Disini Mujin fakboi loh, jadi beda kan hihihi. Bosen akutuh bikin Mujin yang galak melulu, sesekali cool tapi sok cool lucu juga kyknya 🥰

Yah begitulah. Komennya ditunggu ya, mau saran, masukan atau pendapat juga boleh hehehe

Friends [Choi Mujin] - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang