a Reason 0.9

15 4 0
                                    

a Reason 0.9




Semenjak kejadian malam itu yang membuat ku selalu takut dan juga menutup semua pintu dan juga jendela di kamar. Aku tidak mau keluar dari dalam kamar sama sekali, ibu selalu mengantar makan pagi siang dan malam'ku. Dan juga ayah dan ibu tidak sama sekali mencoba mengungkit masalah pada malam itu aku pun juga tidak ingin memberi tahu semua yang terjadi pada orang tua ku. Setelah ayah mengatakan bahwa tidak ada orang di sebrang jalan bawah sana, aku semakin takut apa aku yang akan menjadi korban selanjutnya.

Pikiran bodoh ku di awal yang merasa tertarik dan juga ke ingin Tahuan yang besar membuat ku dalam masalah yang sangat besar. Aku ingin menghentikannya namun aku tidak tau apa yang harus aku lakukan. Meminta bantuan ayah pun tidak mungkin, pasti ayah akan curiga bahwa pisau lipat itu sekarang ada padaku lagi. Bicara yang jujur pun aku yakin ayah tidak percaya. Memikirkan semua itu membuat ku pusing dan juga mual .


Tok tok

Suara ketukan pintu menyadarkan lamunanku. Ku dengar suara lembut ibu menanyakan keadaan'ku.

" Hy boy, are you okay? "

" Ya mom, ada apa ? "

" Ada teman mu yang datang berkunjung "

" Siapa Jeffrey dan Jacob? Kenapa mereka tidak memberitahu ku dulu jika akan berkunjung? "

" Itu bukan Jeff dan jac , itu pemuda yang lain mom belum pernah melihatnya, dia bilang ingin mengunjungi mu. Kau tau dia sangat manis, atau dia pacar mu Loeyn? "

" Come on mom, aku belum memiliki pacar, siapa namanya? "

" Willison itu yang dia katakan "

Tunggu Willison? Aku tidak punya teman yang namanya Willison di kelas, atau teman dari kelas lain tapi kurasa tidak ada. Karena penasaran setelah apa yang di katakan oleh ibuku yang mengatakan dia manis, aku memutuskan untuk meminta tolong ibu dan mengatakan pada pemuda itu agar datang ke kamar ku.





Kriet..

Suara pintu kamar ku terbuka dan kulihat pemuda itu berdiri di sana, bagaimana bisa dia masuk ke dalam rumah, apa jangan jangan yang di maksud oleh ibuku yaitu pemuda yang selama ini selalu membuatku penasaran dan juga takut di saat yang bersamaan.

Ku mundurkan badanku ke belakang kasur sehingga punggung ku mengenai Headboard kasur yang ada di belakang ku. Ingin rasanya aku mengeluarkan suaraku namun sangat sulit untuk berucap dan yang bisa kulakukan hanya menangis dalam diam. Ku perhatikan gerak geriknya dalam diam , kulihat pemuda pucat itu menutup pintu kamar dengan pelan lalu melangkah ke arah ku, dan secara berlahan duduk di pinggir kasur membelakangi ku dan tidak mengucapkan apapun.

30 menit sudah aku menangis dan pemuda pucat itu diam sampai aku mendengarnya berucap.

" Are you okay? Kamu terlihat menyedihkan ? "

Ku lihat dia menatapku melalui ujung matanya, masih dengan membelakangi ku. Aku tau pasti dia melihat ku dengan jelas walaupun dia membelakangi ku. Masih terdengar juga isakan kecil yang keluar dari bibirku.

" Kamu pikir apa yang selama ini kamu lihat ? Dan jangan lupakan pisau lipat yang ada padamu, kamu pikir aku tidak tau apapun? "

Deg deg deg
Jantung ku berdetak dengan sangat kencang, semakin ku rapatkan tubuh ku ke sandaran kasur saat melihat pergerakan dari pemuda pucat itu yang menuju ke arahku. Dan saat pemuda itu duduk tepat di depan ku dan menyematkan tangan kecil pucat yang halus itu ke telapak tangan ku menyatukan jari jemari kita berdua. Senyuman tipis yang manis di tunjukkan pada ku sembari menggenggam tangan ku.

" I saw you, I saw you that time apa yang akan kamu lakukan? "

Senyum yang semula manis itu berubah menjadi seringai menakutkan yang belum pernah aku lihat selama hidupku, tanpa sadar air mataku turun lagi ke wajahku menghalangi pandangan ku akan pemuda yang duduk tepat di depanku. Kurasakan kecupan manis mendarat dibibir ku dengan pelan, sampai aku mendengar suara pintu yang terbuka dan ternyata itu ibuku, masuk ke dalam kamar sembari membawa minum dan camilan. Dan saat mengetahui bahwa ibu masuk ke kamar, ku layangkan pandangan ku ke depan ke arah pemuda pucat yang duduk di depan ku, namun ternyata pemuda itu tidak ada di sana, melainkan tengah duduk dengan senyuman manis di kursi meja belajar ku. Mustahil dia bisa berpindah dengan secepat itu.

" Hey son, kenapa kamu menangis? Apa kamu merasa pusing ? "

Aku hanya diam mematung memandang ke arah depan ku tepat ke arah pemuda pucat itu dan masih mengeluarkan air mata pada mataku. Ku dengar suara lembut yang di keluarkan pemuda itu.

" Kupikir Loeyn masih sakit Mrs Washington, ku rasa aku harus pulang ini sudah menjelang malam, aku takut ada hal buruk yang terjadi nanti, lagipula pembunuh'nya masih berkeliaran bukan ? "

" Ya benar, segeralah pulang sebelum semakin larut atau kamu ingin aku antar pulang ke rumah, tidak baik pemuda manis seperti mu pulang sendiri"

" Tidak, terimakasih Mrs Washington, ku rasa teman ku akan menjemput ku. Jadi aku kan pulang sekarang"

" Tentu, hati hati di jalan dan terimakasih sudah mau menjenguk Loeyn"

" Tentu, Loeyn juga temanku, maybe?  See you tomorrow Loeyn "

Saat pemuda pucat itu telah hilang di balik pintu kamarku, ibuku terlihat sangat senang senyuman manis terbit di bibirnya.

" Kamu tau Loeyn, ku rasa kamu terlihat cocok dengan Willison"

" Willison? "

" Of course Willison, isn't he your friend? Bagaimana kamu bisa tidak tau nama teman mu Loeyn, apa yang selalu kamu ingat hanya Jeff dan Jac  saja ".

Oh shit, aku bahkan tidak tau namanya saat ibu sempat memberi tahu ku tadi, Willison? Nama yang bagus tapi tidak dengan kepribadian aslinya mungkin. Dia terlihat menakutkan sangat menakutkan. Ibu telah keluar dari kamarku, ku paling'kan pandangan ku meja di samping tempat tidur ku, guna mengambil handphone ku aku harus bertanya pada Jeffery atau Jacob siapa tau mereka berdua tau pemuda dia sekolah yang bernama Willison.

Namun pandangan pertama yang kulihat justru pisau lipat itu, bukankah malam itu aku melemparkannya ke kolom tempat tidur bagaimana itu bisa di atas meja dengan rapinya  begitu saja, apa mungkin Willison? Tapi kapan dia mengambilnya padahal pandangan ku tidak sama sekali berpaling darinya. Kecuali saat aku menangis lagi waktu dia mendekat dan mencium ku. Ku ambil pisau lipat itu dengan risau dan menyembunyikan'nya di dalam laci lalu menguncinya. Kurasa aku harus segera tidur sebelum pikiran ku semakin berlarian ke sana kemari. Dan aku kan menghubungi Jeffery dan Jacob besuk.









TBC

A Reason Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang