Hukum Sastra 3 Lampu merah

237 162 31
                                    

Hara dan Diyon baru saja tiba di rumah.  Mereka berdua baru saja pulang dari toko buku yang mereka datangi.
Hara langsung turun dan membuka helmnya kemudian diserahkannya pada Diyon dengan setengah hati. Sangat jelas sekali jika saat Ini wajahnya seperti menahan kesal.

"Nih helmnya, lain kali Hara gak mau ngajak kakak lagi kalau beli novel." ucap Hara dengan suara yang dibuat ketus.

Diyon terkekeh kecil, adiknya ini memang selalu kekanakan. "Kenapa sih Dek, ngambek mulu sama kakak perasaan. Lagian kan tadi kakak cuma nanya buat apa kamu beli novel sebanyak itu? Pacaran sama cowok fiksi lagi? "

"Mana ada pertanyaan kek gitu, kakak tadi bilang cowok fiksi Hara jelek jelek semua. Memangnya kakak tau dari mana kalau mereka jelek? kakak aja gak pernah baca novel." Sewot Hara dengan bersedekap dada sambil melihat ke arah lain.

Diyon mencubit pipi Hara dengan gemasnya, membuat sang empunya terlihat kesakitan. "Ih gemes banget deh punya adek kayak kamu. Udah ah jangan dibahas lagi nanti yang ada kamu malah makin kesal. Ayo masuk ke dalam, bunda udah nungguin kita dari tadi" 

Diyon merangkul Hara yang langsung ditepis Hara secara halus. Hara melihat wajah sang kakak sambil menutup hidungnya dengan sebelah tangannya. "Jangan rangkul rangkul, Kak Diyon kok bau ketek sih."

"Dih ngeselin amat nih bocah"

"Bodoamat" Hara menjulurkan lidahnya  sambil tertawa mengejek pada Diyon dan masuk ke dalam rumahnya. Diyon hanya menggelengkan kepalanya. Dia masih beruntung hanya punya satu adik yang seperti Hara, mengurus satu aja ribetnya minta ampun. Apalagi hobinya ngambekan dan tukang ngadu. Diyon dan Hara sangat jarang akur jika berada di rumah, mereka berdua seperti tom and Jerry versi manusia.
.
.
.
"BUNDA, HARA PULANG!" teriak Hara sambil melepaskan sepatunya di ruang tamu dan duduk di sofa.

Diyon yang baru saja masuk menatap kesal pada sang adik dan memutuskan untuk duduk di sampingnya. "Kebiasaan ya kalau di rumah jadi monyet hutan. "

Sambil membuka tali sepatunya, Hara memajukan bibirnya seolah olah mengejek Diyon. "Kibiisiin yi kilii di rimih jidi minyit hitin"

"Dasar bocil"

"Kakek tua"

"Bocil terkicil kicil"

"Kak Diyon bacot"

"Heh mulutnya, minta ditampol wajan bunda nih kayaknya"

"Jadi kakak jangan rese napa, adeknya capek. Harusnya kan kakak sebagai kakak yang baik pijitin Hara kek."

"Lah, kebalik dodol."

Seorang perempuan paruh baya baru saja keluar dari dapur dan melihat perdebatan mulut keduanya. Dia menggelengkan kepalanya ketika melihat aksi kekanak kanakan mereka lagi. Selalu saja adu mulut hanya karena masalah kecil. Lily, ibu dari Diyon dan Hara langsung menghampiri mereka.

"Kalian itu ya pulang bukannya langsung mandi dan shalat malah adu mulut gak jelas. Kebiasaan banget."

Dengan serentak Diyon dan Hara menoleh ke arah Lily dan tersenyum mengangkat kedua tangan mereka. "Bukan Hara yang mulai kok Bund, Kak Diyon aja tuh yang dari tadi mancing kekesalan Hara. Masa Hara tadi mau diturunin di jalan sama kakak? "

Mata Diyon langsung melebar, wah benar benar Hara mulai kambuh lagi. Padahal tadi dia hanya bercanda tapi Hara malah mengadukannya pada sang bunda.

"Benar itu Bang?" selidik Lily dengan tatapan tajamnya.

Hara menutup mulutnya sambil menahan tawa. "Rasain tuh" gumamnya dalam hati.

"Enggak kok Bund, tadi Diyon cuma bercanda aja." jawab Diyon dengan cengengesan.

Hukum SastraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang