2. Promise

659 70 0
                                    

"... Meledakkannya?"

"Ya."

"Tidak boleh. Di mana Ayah dan Ibu akan tinggal kalau itu hancur?" Zara menggeleng tegas.

Sontak Selig tertawa puas. Dia mengacaukan rambut Zara yang memang tidak begitu rapi. "Apa-apaan? Kau sungguh mengira itu dapat dilakukan?"

"Paman, jangan menggoda anak kecil." Tegur Dylan.

Selig menggerling pada Dylan, tidak menjawab tapi langsung mengangkat Zara dalam gendongannya. "Lalu, haruskah kita meledakkan rumah kakek?"

Zara tidak meyakini pendengarannya, begitu pula yang lain. Akan tetapi, berkat omong kosong Selig, kedangkalan dalam sorot pandang Zara sedikit tergerakkan.

"Selig! Zara masih kecil!"

"What's it? If she's young." Selig mengeluarkan sebuah pemantik dari kantung celana bahannya. Dia menyalakan benda yang diberi ukiran ular di badannya.

"Lihat. Dengan satu benda ini, kau bisa melakukan apa saja."

Zara memegang sekuntum mawar. Menatap kobaran api kecil di tangan pamannya. "Apa gunanya meledakkan rumah kakek?"

Selig balik melihat Zara, menutup pemantik, lantas menjawab ringan. "Itu menyenangkan. Siapa peduli apa gunanya?"

"... Tidak boleh begitu. Pertama, kita harus memikirkan orang lain." Zara mengulangi nasihat sang ibu semasa hidupnya.

"Memang apa gunanya memikirkan orang lain?"

Mark menerima sinyal buruk tentang percakapan Selig. Adik yang satu itu, bukan tanpa alasan mereka berusaha menyembunyikannya. "Jaga mulutmu. Zara masih sangat polos, dia akan menyimpan semua hal tanpa penyaringan!"

Zara bingung, pertanyaan Selig maupun antisipasi Mark. Tapi dia masih berusaha mengeluarkan kalimat yang layak. "Kita... bisa hidup bahagia bersama semua orang. Dan kelak akan berkumpul dalam surga."

Selig tersenyum sampai menyentuh kedua matanya. Dia melirik Mark, lalu berbisik di telinga Zara. "Ibumu mati karena memikirkan orang lain."

"Selig!!" Mark menarik kerah sang adik, ingin merebut Zara tapi gadis kecil itu lebih dulu diangkat oleh kedua lengan panjang Selig.

"Tapi orang itu tidak akan masuk surga. Jadi tidak ada yang berkumpul."

Sementara itu, Hilda tidak bisa melakukan apapun pada Selig. Putranya, Adrian, juga pernah menjadi korban dari Selig. Dia memang sedikit tidak waras, dan tak ada yang mampu menghentikannya.

Jadi daripada menyebabkan lebih banyak keributan, dia sudah mengambil langkah untuk mengosongkan daerah itu.

"Ayah, urus putramu!" Bruno berbisik keras.

Frank terkejut. "Putraku? Bukankah itu kau yang berkata bahwa dia mungkin cucuku!"

"Aku tidak pernah meniduri wanita itu, dan Kendrick juga sama. Sudah pasti Selig milikmu! Bukankah ini sudah dibicarakan?"

Kendrick mengisi sisi kosong di antara mereka berdua. "Benar. Di antara kita para pria, Mark tidak mungkin bersalah. Jadi sudah pasti dia milik Ayah."

Adam, selaku cucu tertua, mewakili rasa lelah melihat tingkah laku para tetua di keluarganya. "Aku mulai merasakan efek dari kehilangan Nenek dan Bibi Naomi sekarang."

"Semuanya akan kacau tiap paman muda itu keluar sarang." Celutuk Milan.

Adrian sendiri cukup membenci Selig, tapi dia tak bisa berbuat banyak. "Aku tidak bisa membiarkan Zara dicuri oleh psikopat itu."

"Kau berlebihan. Dia masih paman kita." Dakota membela Selig bersama Landon. Mereka seumuran dan biasa bersama, jadi pada dasarnya cukup akur.

"Bicara apa kau? Keberadaannya adalah kesialan bagi kita. Bahkan Nenek harus menjadi tumbal." Dylan mendelik.

"Bocah ini! Kau tidak pantas!!" Landon menarik kerah Dylan dengan emosi di ujung kepalanya. Keduanya langsung dipisahkan oleh yang lain.

"Tenanglah kalian!!" Milan mendorong di tengah.

"Dylan, aku paham kau paling dekat dengan Nenek, tapi aku bisa mengatakan bahwa kau memang bersalah dalam kata-katamu." Adam meremas bahu Dylan, lalu menoleh pada Landon.

"Jangan terbiasa menggunakan tanganmu. Dia saudaramu."

Meski Dakota berada di pihak yang sama dengan Landon, dia masih netral untuk kedua saudaranya. "Malu pada diri kalian. Kita masih di depan Bibi Naomi."

Dylan dan Landon dipisahkan dengan mudah. Mereka menjadi lebih tenang dengan jarak dua meter.

Adrian dan Milo tidak berkata apa-apa. Bila Adrian karena tak mampu menyembunyikan kebenciannya, maka Milo memang pendiam di antara mereka.

Sambil memandang Zara, Adrian terbesit kembali kenangan yang ingin dihapusnya.

"Zara, dia sungguh tidak bisa memilih Selig." Desis Adrian.

Adam kelelahan. "Lalu apa yang akan kau lakukan?"

"Kalau perlu, aku akan mengadopsi Zara!"

"Omong kosong."

"Gila."

"Bodoh."

Semuanya kompak memberi kritik. Memang, itu bukan pilihan yang bijaksana. Walau orangtua mereka terlalu tua, mereka juga terlalu muda. Jadi sama saja. Lebih baik menitipkan Zara pada yang lebih berpengalaman.

Lalu, bagaimana dengan Zara? Anak itu sedang diangkat seperti bayi kucing dengan mudahnya oleh Selig. Mark juga tak berani mengusik, takut Zara akan terjatuh.

"... Aku tidak mengerti." Zara menunjukkan suasana hati yang terlalu berat untuk bocah seusianya. Dia terlalu pucat untuk menangis, tapi hidungnya terlalu merah untuk tersenyum. Dia mengagumi kebajikan orangtuanya, menjunjung keinginan mereka yang berbudi luhur. Tapi nyatanya, Zara hanya mempunyai mereka berdua.

Hanya Tom dan Naomi yang Zara inginkan.

"Apa yang harus kulakukan, Paman?" Zara meneteskan air mata di kulit wajah Selig. Ketika dia menunduk, pamannya menengadah untuk memandangnya.

"Maka dari itu, kau harus bersenang-senang." Selig menurunkan Zara agar duduk di lengannya. "Setiap manusia memiliki cara masing-masing untuk bahagia. Orangtuamu memilih jalan yang sulit, bukan?"

Zara memeluk Selig dengan nalurinya. Dia mengangguk tentang pertanyaan retoris Selig.

"Zara, kebahagiaan macam apa yang kau inginkan?"

"... Aku," sebenarnya hanya mengharapkan orangtuanya.

"Aku tidak ingin ditinggalkan." Zara meremas kemeja Selig, dia menangis tanpa suara dalam pelukan si paman muda.

Selig menunggu Zara sambil tersenyum. "Aku tidak akan meninggalkanmu."

"Aku ingin bersama selamanya. Apa Ayah dan Ibu memilih mereka daripada aku?"

"Entahlah. Yang jelas, aku akan selalu memilihmu. Sampai kita berdua mati. Bersama." Selig menyisir rambut Zara yang berantakan. Menatap dengan mata yang selalu tersenyum.

Sementara kesedihan Zara mulai tawar, di hadapan mereka yang gelisah, Zara melihat Selig penuh embun harap di sepasang mata yang basah. "Apa kau pamanku?"

"Aku pamanmu. Apa mereka tidak memberitahumu?" Zara menggeleng.

"Lalu, apa aku bisa memilihmu?"

Selig menghapus jejak kesedihan di pipi empuk Zara. "Tentu saja. Aku juga berencana untuk memaksa."

5/11/2022

Selig: The CaretakerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang