Zara menangis dalam diam selama perjalanan ke sekolah. Usai membuat Milan dan Milo berlari keluar dari rumah mereka, Selig menyeret putri angkatnya untuk tetap berangkat tidak peduli kondisinya yang berantakan.
Zara memegang tangannya yang bergetar satu sama lain. Kepalanya menunduk dalam-dalam dengan keras kepala. Dia tetap menjaga suaranya tertahan, sebab dirinya amat ketakutan dan sedikit marah pada Selig.
Pamannya selalu brutal, tapi Milo adalah satu dari sepupu yang dia hargai. Dia tidak pernah bersikap beda pada Zara setelah kejadian apa pun yang ambigu hingga menyebalkan bersama Selig. Bahkan dia tidak bersalah apa-apa untuk menerima pukulan Selig.
Namun, amarah pada Selig sebenarnya lebih besar kepada dirinya sendiri. Karena Zara dengan segenap hatinya selalu lebih memilih Selig dari apa pun, hanya saja dia tidak juga mampu menyelamatkan orang lain yang cukup berharga baginya.
"Sampai kapan kau akan menangis?"
Mereka tiba di parkiran sekolah. Selig duduk di kursi penumpang bersama Zara, hanya berdua setelah mengusir sopir. Khusus hari ini tidak mengemudi sendiri sebab emosi dan pikirannya yang terlalu kacau.
Melihat Zara menangis begitu lama, Selig bahkan lebih marah di dalam sana.
Zara buru-buru menghapus air matanya. "Maafkan aku," katanya dengan parau.
Pembuluh darah di kening Selig rasanya hampir meledak. Dia menggigit rahangnya, menahan emosi yang mengganggu ketenangannya hingga menciptakan keributan buatan di pendengarannya.
Selig menghela napas dalam. Dia menarik pinggang tipis Zara ke dalam pelukannya. Zara membeku, mengalirkan keringat dingin sementara badan Selig mendidih.
"Sayang, mengapa begitu rajin membuat Paman marah belakangan ini?" Selig bertanya dengan nada rendah. Dia menatap Zara sedangkan gadis itu berusaha mati-matian menurunkan pandangannya. Selig dapat merasakan tubuh Zara bergetar serta terengah-engah.
"Aku tidak bermaksud begitu, Paman."
Selig terdiam.
Sontak Zara menahan napasnya. Dia berusaha mendapatkan akal sehatnya setiap kali Selig hilang kendali, hanya saja pria itu memiliki temperamen yang tidak masuk akal dan berubah-ubah. Enam tahun bersama Selig tidak membuatnya mengerti banyak cara menangani pria itu.
Selig terdiam nyaris beberapa menit. Zara seperti akan pingsan oleh sesak yang dia alami jika pria itu diam lebih lama. Gadis itu berhenti menunduk lantas menatap Selig, hendak memeluk leher pria itu dan mulai membujuk dengan intim. Akan tetapi, Selig menghentikan pergerakannya.
"Menjijikkan," bisik Selig.
Zara tidak pernah lebih terkejut seumur hidupnya.
Selig memegang leher Zara lalu mendorong gadis itu menjauh darinya. Dia tidak memakai kekuatan jadi Zara tidak kesakitan, tapi gadis itu mengalami yang lebih parah.
"Perasaan apa ini? Terlalu asing dan tidak cocok bagimu. Zara, tidak dapat kupercaya kau adalah anak yang kubesarkan selama ini dengan tanganku sendiri."
Selig sedikit menemukan ketenangan. Kini rasa penasaran yang asing timbul di benaknya.
"Ini aneh." Selig menarik tangannya. Dia melihat telapak tangannya yang sedikit bergetar di ujung jari.
Zara merasa rambut halus di punggungnya berdiri bersamaan. Otaknya meneriakkan bahaya sampai dia bergerak mundur dari Selig yang duduk di sisi lain.
"Paman," Zara seakan memohon.
Selig melihat tangannya bergantian dengan wajah Zara. Kemudian sudut bibirnya sedikit terangkat. "Sungguh pengalaman baru."
Zara bergerak sebelum otaknya sempat berpikir. Seolah tubuhnya menyadari ancaman yang akan datang, dia berbalik dan hendak membuka pintu yang terkunci beberapa kali. Tangannya bergetar tak terkendali sampai kesulitan untuk membuka kunci secara manual.
Selig tidak bergegas menahan Zara. Melainkan tertawa dan mengendus telapak tangannya sendiri. Dia mendesah melihat Zara yang tampaknya tahu apa yang dia pikiran lalu menariknya dengan paksa.
"Aku seperti ingin memukulmu."
"Paman, kumohon hentikan. Kau tidak pernah menyakitiku, 'kan?" Zara menangis dan ingin masuk ke dalam pelukan pria itu.
Tapi Selig menahannya dengan kedua tangan. "Benar. Aku tidak pernah ingin menyakitimu. Tidak mungkin aku rela, bukankah aku selalu memanjakanmu?"
"Ya. Ayah selalu mencintaiku, begitu pula aku sangat mencintai Ayah. Aku hanya mempunyai dirimu seorang. Kumohon maafkan aku."
Selig tersenyum. "Setelah kupikirkan, kau sudah cukup dewasa. Tidak bisa selalu kumanjakan layaknya anak kecil selamanya, 'kan?"
Zara menggeleng kencang. "Tidak! Aku selalu gadis kecil milikmu! UKH!"
Zara tercengang dengan wajah memerah serta vena menebal di sekitar wajah sampai lehernya. Di sana, Selig mencekik dengan cukup kuat menghalang suara Zara keluar meski gadis itu berusaha.
"Urgh! H-ha!" Dia ingin memanggil pamannya, tapi satu kata sesulit berjuang dari maut.
Zara tidak sempat menarik napas, bahkan sebelumnya sesak oleh ketakutan. Ketika Selig mencekik seakan berniat mematahkan lehernya, air matanya mengalir begitu pula dari sudut bibirnya yang terbuka. Matanya bergerak tidak menentu tanpa fokus. Tangannya menggaruk pergelangan Selig dan memukulnya tanpa tenaga.
Zara merasa kepalanya akan meledak. Menyakitkan dan menakutkan. Tubuhnya tidak tenang dan berusaha membuat kekacauan dengan anggota geraknya pada Selig.
Sementara Selig kehilangan ekspresinya. Dia berdebar melihat reaksi Zara yang menjadi pemandangan baru, tampaknya cukup menarik walau terdapat getaran seorang pengecut di hati kecilnya.
"Aku berpikir, sepertinya aku selalu ketakutan menyakitimu karena takut kehilanganmu." Selig mendekat dan mencium kening Zara yang kehilangan dirinya.
"Tapi, belakangan ini kau terlihat seolah tidak takut kehilangan aku." Selig melihat Zara nyaris pingsan dan melonggarkan cekikannya. Tangan yang lain dia gunakan menutup mulut gadis itu agar tetap diam.
Selig memandang Zara yang masih membuat keributan agar segera mendapat pasokan oksigen lebih banyak. Matanya menyedihkan, Selig cemberut bagaikan korban.
"Tidak adil, 'kan?"
"Padahal aku tidak pernah menyakitimu, tapi kau selalu menyakitiku." Selig merasakan emosinya kembali membuncah. Kali ini, dia sedih dan sedikit terpuruk. Setetes air mata jatuh dari salah satu matanya.
"Padahal aku selalu berpihak padamu, tapi kau memikirkan orang lain dari pada aku."
"Padahal aku selalu menyayangimu bagaimana pun dirimu, tapi kau memandangku seakan hewan buas."
"Padahal aku memberimu semua yang kau inginkan, tapi kau selalu membuatku marah."
Selig tidak berkedip, namun air mata terus mengalir tanpa emosi di wajahnya. Sampai kedua tangannya terjatuh dan berhenti mencekik Zara, gadis itu jatuh dan terbatuk parah di dada Selig.
Selig bergeming dengan tatapan kosong.
Zara menenangkan dirinya selama lima menit sebelum benar-benar bernapas lega dan otaknya mendapatkan kembali kinerjanya.
"Maafkan aku," ujar Selig dengan serak.
Zara menengadah, menemukan wajah Selig yang tidak bernyawa. Dia hanya bisa melupakan rasa sakitnya karena sisi Selig yang tidak familiar ini begitu menyedihkan baginya.
"Selig, bagaimana bisa aku tidak menyayangimu?" Zara setengah berlutut untuk memeluk Selig. Meletakkan telinga pria itu di depan dada kirinya, sehingga Selig menemukan kesadarannya mengikuti detak jantungnya yang konstan.
Selig bergumam, "tapi aku baru saja menyakitimu."
Zara menggeleng lemah. "Aku selalu mencintaimu sebesar kau mencintaiku. Hanya saja, aku sering kebingungan. Maafkan aku sering menyakitimu."
"Kau tetap menginginkanku?"
Zara tersenyum. Dia mengusap kepala Selig dengan penuh kasih sayang. "Mengapa aku tidak menginginkanmu? Kita sudah berjanji akan selalu bersama. Paman tidak akan pernah meninggalkanku seperti orang lain."
Selig mendongak, dia melihat Zara dalam-dalam. "Kalau begitu, jangan pernah membuatku merasa tidak diinginkan lagi."
20 Mei 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Selig: The Caretaker
RomanceSelig dan Zara, seorang paman dan keponakannya. Lalu, mengapa mereka bercumbu? *** Selig O'Brien adalah seseorang yang tidak dibatasi akal sehat. Secara sederhana, dia memiliki sedikit gangguan mental...