4. Protector

688 72 7
                                    

Hari ini, Senin malam sebelum Zara memanjat ranjangnya. Selig menyerahkan sebuah kandang kecil berisi seekor anak kucing.

Itu menggemaskan dan lembut, kumpulan bola bulu yang tebal membuatnya terlihat lebih empuk. Zara sangat menyukainya hingga membalas kebaikan sang paman dengan ciuman di pipi.

"Terima kasih, aku sangat menyukainya."

Selig tersenyum ramah, tangannya bergerak mengelus rambut ikal Zara. "Itu bagus jika kau menyukainya. Rawat dia selama mungkin, oke?"

Pesan itu terdengar familiar dan tidak di saat yang bersamaan. Zara kecil tidak begitu mengambil pusing, lantas membawa kandang kucing ke tempat kosong di sisi tangga. Itu terletak tidak jauh dari perapian, dia berpikir bahwa anak kucingnya akan semakin nyaman.

"Aku ingin tidur bersamanya, tapi ibu pernah berkata bahwa tidak sehat untuk sering menghirup binatang berbulu. Jadi aku akan bermain dengannya besok pagi. Tapi tubuhnya sangat kecil, apakah dia mampu berjalan di taman? Bukan masalah, aku dapat menggendongnya!" Zara tanpa sadar berdialog panjang, dia tampak sangat asyik menyusun rencananya esok hari.

Selig di sebelahnya, terlihat ikut bahagia. Dia mengambil tubuh Zara ke dalam pelukannya lalu berjalan menuju kamar tidur mereka. Zara dengan senang hati memeluk leher Selig sementara terus berceloteh.

"Paman, kita harus membeli tempat tidur untuk kucingnya! Dia tidak boleh kedinginan, juga kandang terlihat keras dan dingin. Aku tidak akan suka tidur di sana."

Selig tersenyum dan merapikan rambut Zara. "Ya, kita akan menyiapkan keperluannya besok. Dan paman tidak akan membiarkan Zara tidur di kandang, jadi Zara tidak perlu resah."

Wajah kecil Zara sedikit memerah karena malu. Pamannya salah paham. Lebih tepatnya, kalimat kekanakannya yang membuat pamannya datang untuk menggoda.

"Aku tahu... tidur bersama paman juga sangat nyaman." Gumam Zara.

Mendengarnya, Selig sangat puas. Mereka sudah memasuki kamar, dan pria dewasa berbaring di ranjang tanpa melepaskan Zara dari pelukannya. Dengan itu, Zara terbaring di atas Selig.

"Aku juga menyukainya. Kupikir musim salju akan terasa hangat selama kita bersama, Zara."

Zara mengangguk kuat. "Paman, kau tidak akan kedinginan. Kita akan selalu bersama! Aku tidak akan meninggalkanmu. Kau juga tidak boleh meninggalkanku."

Selig menarik selimut ke atas tubuh mereka, dan sempat berbisik sebelum mematikan lampu. "Ya, itu adalah janji kita."

Kemudian malam berlalu singkat. Dalam sekejap mata, langit telah menjadi terang. Zara membawa anak kucing yang dia beri nama Hilo mengitari taman di belakang rumah.

Sesekali, dia membiarkan Hilo berjalan dengan kaki-kaki kecilnya. Itu sangat lucu dan rapuh, Zara tidak membiarkannya lama terjadi. Dia segera memeluknya kembali.

Namun keduanya sama-sama masih kecil. Zara lelah dengan cepat, memilih beristirahat di bawah pohon rimbun di sana dan membiarkan Hilo bermain di rumput.

Hilo berlari dan berguling di permukaan rumput hijau, tampak kontras dengan bulu-bulu putihnya. Dia juga sangat aktif bersuara, mengeong nyaring seakan menceritakan kesenangannya.

Zara hanya melihat dari bawah pohon, tak kuasa turut tertawa bersama kebahagiaan si kucing. "Aku akan meminta Paman membawa anak kucing lainnya. Pasti lebih menyenangkan untuk bermain bersama."

Zara memeluk lututnya, bersandar santai di pohon sambil menikmati hembusan angin. Suara-suara susu yang dikeluarkan Hilo menenangkannya di suatu sisi, membuatnya ingin memejamkan mata sebentar.

"Aku juga sama. Sekarang aku memiliki Paman. Dan segera, aku akan kembali bersekolah dan memiliki teman bermain. Jadi, kita harus bahagia-"

"MIW!!!"

Jeritan itu terdengar sangat panik, menginfeksi Zara sama buruknya. Dia sangat terkejut ketika membuka mata dan melihat Hilo digigit rakus oleh seekor doberman.

"AHH!! Hilo!!" Zara berdebar kencang, pikirannya sebenarnya kosong saat memanggil nama Selig secara membabi buta.

"PAMANN!! PAMANN! HILO! TOLONG!" Dia tidak bisa menunggu orang lain datang, Hilo terus menangis dengan tubuh bersimbah darah.

"PERGI!! TINGGALKAN HILO!!" Zara sangat kalut, berlari untuk memeluk leher anjing hitam itu.

Namun setengah tubuh Hilo telah dilahap rakus oleh susunan gigi tajam anjing tersebut, penuh liur dan erangan dalam.

"Lepaskan Hilo!!!" Zara berteriak di tengah tangisnya, dia sangat sesak dan ketakutan.

Saat merasakan bagian belakang tubuhnya berat, anjing itu membuang Hilo dari dalam mulutnya. Menggonggong keras dan hendak menggigit tangan Zara, tubuhnya terus berputar menyeret gadis kecil di rumput.

"Paman!!" Merasakan tetesan liur anjing itu, Zara memejamkan matanya dengan kuat. Belum sempat tangannya digigit, kerahnya diangkat dari belakang.

"Celo, sit!"

Kebisingan telah berakhir, namun tubuh Zara masih bergetar dalam frekuensi tinggi, air matanya mengalir tanpa henti. Matanya sudah terbuka, namun pandangannya kosong. Di bawah sana, tubuh Hilo hanya tersisa setengah.

Perutnya terkoyak, sehingga organ dalamnya tercecer di permukaan rumput. Mata anak kucing itu setengah terbuka, namun itu tidak lagi berwarna putih.

Zara terlalu takut dan panik. Napasnya terdengar berantakan, setiap hembusan sangat kasar.

Hatinya sangat kacau. Dia sedih, marah, entah kepada siapa, anjing itu atau dirinya. Tapi yang jelas, perasaan itu sangat besar.

Tepat ketika dia ingin melepaskan tangisnya, Selig menendang kepala Celo lalu menginjaknya di tanah.

"Gadis bodoh. Kenapa kau menerjang anjing ini? Apa kau ingin dimati bersama kucingmu?"

Zara ditaruh kembali ke tanah. Kakinya sangat lemah, dia hanya terduduk tanpa suara.

Selig melihat reaksinya, wajahnya tidak mempunyai sedikit kejutan bahkan nyaris menyepelehkan pemandangan brutal di hadapannya.

"Bagaimana ini? Kucingmu mati, dan kau sendiri hampir mati." Selig menekan kepala Celo semakin kuat begitu anjing tersebut memberontak.

Zara kebingungan, dia hanya memandang Selig dengan mata kosongnya. Membuat pria itu tidak nyaman, hingga memutuskan untuk menendang perut anjing di bawah kakinya beberapa kali.

Zara tahu di depannya sedang terjadi sesuatu yang sangat sadis. Sekedar suara tangisan anjing itu sudah membuktikan betapa menyakitkannya serangan Selig.

"Paman.. hentikan. Apa yang kau lakukan." Pertanyaannya tidak begitu penasaran, dia hanya lelah. Otaknya terlalu muda untuk memikirkan situasi ini. Dunianya perlahan-lahan kehilangan suara. Semuanya tampak seperti kumpulan cahaya sedangkan telinganya berdengung.

Entah bagaimana, hanya dalam beberapa menit Zara kehilangan fokusnya, Selig melempar setengah dari tubuh Celo ke hadapan Zara. Bentuknya tidak lagi begitu baik, perutnya penuh cabikan yang dilakukan tanpa kesabaran.

Zara tercengang. Dadanya sangat sempit dan membawa sarapannya kembali keluar. Terlalu mual, dia memuntahkan isi perutnya di sekitar bangkai anjing yang membunuh kucingnya.

"Ingat kejadian ini." Selig menepuk punggung Zara, lalu mengusap bibir kecilnya dengan sapu tangan. "Karena ini akan sering terjadi di masa depan. Betapa kejamnya dunia untukmu bertahan, Zara."

"Paman..."

"Tidak perlu takut. Aku akan melindungimu." Mengulum senyum lembutnya, Selig memeluk Zara hingga gadis itu tenang.

5 April 2023

Selig: The CaretakerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang