8. Count

231 44 3
                                    

Jantung Zara berdebar kencang sampai rasanya dapat dia dengar dengan telinganya sendiri. Dia ragu-ragu menoleh pada Selig, hanya menemukan pria itu menatapnya dengan lekat seperti sedang mengintrogasi. Walau di dalam sana, tersimpan banyak hasrat yang tak tersalurkan.

"Aku tidak mengira kau akan begitu penasaran." Kata Zara perlahan.

"Aku penasaran akan segalanya tentangmu, Sayang." Selig mulai menciumi leher Zara sehingga gadis itu menengadah. Hanya terdapat pemandangan langit-langit putih kamar mandi dan suara napasnya yang tersenggal.

"Paman tidak suka bersentuhan dengan siapa pun, 'kan." Zara menahan tangan Selig yang mulai bermain seenaknya. Dia menarik wajah pria itu agar berhadapan dengannya.

Bayangan mereka saling menimpa satu sama lain, dengan wajah Zara di atas fitur tegas Selig.

Selig tersenyum. "Bukan sekedar tidak suka menyentuh, tapi aku mungkin jatuh cinta dengan sentuhanmu." Lalu dia menyandarkan kepalanya di tengah dada Zara.

"Paman selalu menggunakan ethanol untuk bisa menyentuh benda asing. Kartu yang kupilih sedikit lembab dan berbau disinfektan."

Selig tidak terganggu sama sekali. Seakan dia tidak membutuhkan jawaban itu sejak awal. Dia hanya tertawa lalu bertanya, "mengapa kau menyembunyikannya selama ini?"

Zara cemberut. "Kau mungkin mengiraku anak aneh."

"Karena membauiku?" Selig melepaskan Zara dan bangkit dari bak mandi.

"Nak, baui aku sepuasmu." Selig memeluk Zara lantas mulai membersihkan tubuhnya dari sabun.

"Baui apa?" Zara kini dibungkus oleh handuk tebal.

"Di bawah sana misalnya." Selig menunjuk satu benda dengan dagunya.

Selanjutnya dia menggoda sampai wajah Zara kembali menjadi tomat. "Menciumnya juga Ayah izinkan."

"Paman, kau berubah."

Selig akan menyikat gigi Zara, tapi dia mengangkat sebelah alisnya. "Apa?"

"Kau semakin bernafsu."

Mungkin Selig gemas melihat ekspresi datarnya saat mengucapkan kalimat itu, jadi dia mulai menyikat gigi Zara tanpa basa-basi. Begitu selesai, dia mengecup bibir Zara.

"Ya. Bagaimana ini? Paman sudah lelah tumbuh dan hendak berkeriput, tapi Zara tumbuh semakin kencang dan lembut di sini dan di sana." Hal-hal tidak dikatakan secara langsung namun semua orang akan paham.

Zara memeluk Selig yang menggendongnya untuk berganti pakaian. "Tapi, Paman..."

"Jika kau dan aku melakukannya, apa tidak apa-apa? Maksudku, seperti keluarga kita."

Tiba-tiba Selig berhenti melangkah. Suasana hatinya tampak rusak dalam sepersekian detik. Zara menyadarinya tapi tidak mampu terburu-buru menyela. Dia tahu betapa Selig berbahaya ketika emosinya terganggu.

Namun tetap saja, melihat Selig tersenyum pada Zara sambil menggenggam pergelangan tangannya membuat gadis itu sedikit tremor. Kedua kakinya kini kembali menyentuh lantai, seakan Selig akan berhenti memanjakannya.

"Mengapa kau bertanya seperti itu?" Tanya Selig dengan nada rendah.

"Kau tidak seperti Zara-ku, yang kubesarkan menjadi anak manis dan cerdas." Selig main-main dengan tangan halus Zara lalu menariknya ke salah satu lemari dengan pintu.

Kaki Zara melemah seiring langkah yang dia paksa mengikuti tarikan Selig. Dia tahu apa yang sedang terjadi, dan apa yang akan terjadi jika dia tidak segera menenangkan emosi itu.

"Paman, kau salah paham." Zara berusaha agar suaranya tetap tenang.

Selig meremas tangan Zara, gadis itu menahan jeritannya dengan spontan.

"Sayang, dunia tidak pernah memerdulikan kita." Selig mendorong tubuh Zara ke dalam lemari dengan lembut. Dia menggosok pergelangan Zara yang memerah. Perlahan, penuh kasih, dan sirat sedih seolah dia yang merasa sakit.

"Siapa yang kau butuhkan?"

Zara meneteskan air mata tanpa suara. "Kau, Selig."

Selig tersenyum. "Benar. Aku membutuhkanmu sebanyak kau membutuhkanku. Aku memberikan segalanya untukmu, bahkan hidupku sendiri. Aku akan hidup untuk menemanimu, selamanya. Kita tidak akan pernah kesepian atau kehilangan. Aku mengatakannya sebelumnya, mengapa kita bisa mewujudkan ini?"

Zara mengusap kepalanya ke telapak tangan Selig dengan taat dan air mata. "Karena kau tidak memikirkan apa pun selain diriku."

"Benar. Itulah yang juga harus kau lakukan padaku."  Selig melepaskan diri dari Zara. Membuat gadis itu panik tapi tidak berani membuat keributan, hanya menontonnya menutup pintu lemari dengan teror di wajahnya.

Selig tidak serta-merta meninggalkan Zara, dia masih berdiri di balik pintu. Berbicara dengan santai. Suasana hatinya tampak lebih baik.

"Jadi, jangan bertanya seperti seorang pengecut. Apa yang akan kau gapai dalam hidup ini kalau terus memikirkan orang lain. Apa mereka bahkan peduli padamu? Akankah mereka mati tanpa kau bernapas di sisinya? Tidak. Tapi aku akan. Begitu pula kau."

Selig melangkah pergi untuk mencari jam sukat, menjauhi Zara yang menutup mulutnya dengan tangan bergetar. Gadis itu menekannya semakin kuat tiap dia tersedak dalam tangisnya, hingga tak ada isakan berisik yang terdengar.

Selig kembali dengan jam sukat, mengetuk pintu lemari sebelum berkata pada Zara.

"Kau harus belajar fokus pada satu hal. Seperti aku menjadikanmu titik fokusku, kau akan melakukan hal yang sama padaku. Dengan itu, tidak akan ada rasa sakit lagi yang bisa mengganggumu. Tidak akan ada kesedihan, tidak ada lagi masalah yang terlalu berat untuk kau hadapi. Dengan itu, kau akan bertahan hidup."

"Kau mengerti yang kukatakan?" Selig mengatur jam sukat untuk mulai menghitung waktu.

Zara mengatur napasnya sebelum menjawab. "Aku mengerti, Paman."

"Bagus. Tidak ada permohonan maaf di antara kita, kau hanya bisa membuktikan niat baikmu. Aku akan memulai perhitungan jam sukat bersamaan denganmu berhitung di dalam sana. Saat aku kembali dan memintamu berhenti menghitung, kita akan cocokkan bersama hasil perhitunganmu dengan jam sukat ini. Tiap selisih detik akan ada hukumannya, tahu?"

Zara tidak lagi bisa menahan suaranya. Terakhir kali, Selig meninggalkannya sampai lebih dari lima ribu detik dan itu membuatnya nyaris gila. Dia memukul pintu lemari dari dalam dengan gemetar.

"TIDAK! TIDAK!" Zara menggaruk pintu kayu itu. Dia lemah dan bahkan kesulitan untuk bernapas lega. "Selig, sayangku. Kumohon, ayo lakukan hal lain?"

Namun, Selig hanya menjadi semakin gila dengan keributan yang ada. Matanya berkedut marah hingga dia tanpa kendali menendang lemari di samping Zara.

Bunyi tumbukan dan barang-barang yang dihancurkan terus mengikuti sampai beberapa detik. Zara tidak mampu untuk berkedip, hanya memilih untuk menahan napas dan isaknya hingga suara itu berhenti.

Sekitar dua menit kemudian, gema tamparan terdengar nyaring sebelum Selig membuka lemari dan menarik Zara dalam pelukannya. Pria itu menangis seperti berada di pihak yang teraniaya.

Sementara itu berlangsung, Zara sama sekali tidak lagi meneruskan tangisannya. Dia melihat Selig begitu rapuh dan membalas pelukannya cukup erat dalam diam.

"Aku tidak akan pernah menyakitimu, tahu?" Selig menangkup wajah Zara, menciumi keningnya dengan bibir yang pecah.

Zara segera mengangguk meski wajahnya sembab. "Aku tahu, aku tahu."

"Aku mencintaimu. Dan selalu begitu."

13 Mei 2024

Selig: The CaretakerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang