5. Doctrine

372 52 0
                                    

Hanya pada keesokan harinya, seluruh anggota keluarga O'Brien berbondong-bondong memenuhi kediaman Selig. Bahkan sang tuan rumah tahu, mata-mata yang ditanamkan mereka telah menyampaikan kejadian berdarah kemarin.

Masing-masing dari mereka tidak segan menunjukkan murkanya, secara terbuka mengakui pengintaian yang direncanakan.

"Kau tidak tahu diri! Bahkan tidak seminggu diberi kepercayaan dan apa yang sudah kau lakukan pada Zara! Dendam apa yang kau pendam sampai harus melampiaskannya kepada anak kecil itu!" Saat ini, bahkan Frank yang biasa tidak berguna dalam mendidik juga memarahi Selig dengan keras. Nyaris mengangkat benda untuk memukul putra bungsunya.

"Setidaknya berhenti bertindak aneh. Di usia Zara, kalau kau semena-mena juga akan menentukan bagaimana dia di masa depan. Hanya kau dapat bertahan menjadi dirimu sendiri, jangan menarik anak itu menikmati kesenanganmu sendiri." Mark memojokkan Selig habis-habisan.

Namun Selig yang dibicarakan, masih bisa setengah terbaring di kursi santai. Menampilkan senyum ringan yang mengejek. "Memangnya apa yang sudah kulakukan pada Zara? Bukankah kalian yang terburu-buru menghampiriku dan tidak mencari Zara sama sekali untuk melihat kondisinya. Ayah pasti sangat mempercayaiku dan yakin akan kesehatan Zara sekarang. Sayang sekali Ayah dapat memastikan tidak ada dendam yang bisa aku balas hingga membuat keadaan Zara sangat baik seperti ini."

Selig merentangkan satu tangannya ke sisi lain yang memiliki pembatas ruangan besar. Memisahkan ruang keluarga dengan area kolam indoor. "Kemari."

Kendrick hendak lanjut mengecam, tapi anak kecil yang akan dibela malah mengintip usai mendengar perintah Selig.

"Bagaimana Paman mengetahui keberadaanku?" Tanya Zara dengan rona tipis di wajahnya, berlari kecil menghampiri Selig.

Selig menangkap pinggang Zara dan menaruh anak itu di pangkuannya. Bermain dengan sepasang pipi lembut sambil bercanda. "Sepatumu berisik sekali. Paman hampir tuli dibuatnya."

"Selig!" Tegur Hilda. Orang tua mana yang bercanda seperti itu kepada anak kecil? Lihat saja bagaimana Zara menundukkan kepalanya, tampak putus asa dan hendak melepaskan sepatu yang sungguh tidak ada orang lain mendengar suara langkahnya.

"Omong kosong! Kakek sama sekali tidak mendengar langkah Zara." Frank mendukung cucunya dengan jujur.

"Kau dengar. Kakek benar-benar sudah tuli. Berhenti berlari dan duduk dengan tenang bersama Paman. Mengerti?" Selig memeluk Zara tanpa mengubah posisinya, membuat orang lain yang melihatnya terbakar cemburu.

"Sudahlah, Kakek, Bibi. Untuk apa berbicara dengan orang itu? Akal sehatnya tidak pernah bekerja sama sekali." Adrian melirik Selig dengan cibiran.

Selig menyeringai lalu berbisik dengan volume normal di telinga Zara. "Anak baik. Di masa depan jangan berbicara dengan orang bodoh seperti Paman di sana, apalagi berteman. Kosa katanya sangat buruk, kau tidak boleh sembarangan merusak pergaulanmu, mengerti?"

Zara mengangguk patuh dan melepas sepatunya sebelum menatap Adrian dengan mantap. Tanpa menyisakan jejak ketaatan yang dia berikan pada Selig. "Berakal sehat adalah karunia bawaan manusia. Jika akal sehat Pamanku tidak bekerja, maka milikmu pasti tidak pernah ada."

Ekspresi Adrian rusak sepenuhnya. Kalimat itu dikeluarkan Zara, tapi dia secara spontan melayangkan kebencian pada Selig.

Selig terbahak sambil merengkuh Zara. Menunjuk Adrian dengan pandangannya, dia tertawa hingga giginya tampak. "Bagus! Hampir dua dekade berlalu dan kau masih idiot!"

Sontak Kendrick melotot. "Apa yang kau bicarakan!"

"Perhatikan kata-katamu." Ancam Frank.

Adam menyernyit mendengar hinaan Selig terhadap adik kandungnya, sementara Hilda maju menghadapi Selig.

"Aku sudah memilih abai tentang masa lalu. Apa kau berencana mengungkitnya kembali?" Hilda menggenggam amarahnya.

"Pokoknya, Zara tidak bisa dirawat olehmu." Milan menarik Adrian ke belakang. Tubuh pria itu mulai bergetar dan mengeluarkan keringat dingin.

Di luar dari normalisasi publik, Selig mencela respon Adrian yang dianggap berlebihan. Dia menutup telinga tentang protes yang mereka ajukan.

Selig menguap bosan. "Katakan saja aku merugikan Zara dalam hal apa."

"Pertanyaan dan jawaban itu hanya dimiliki oleh orang tidak waras sepertimu! Bisakah kau untuk sekedar bernalar?" Dylan menggigit kalimat terakhir.

"Tempramen sekali. Aku melempar tulang, tapi kau malah menggigit ekormu." Selig tersenyum main-main pada anak di pangkuannya. "Karena itu, aku tidak memberimu seekor anjing."

"Kau!"

"Berhenti." Frank memukul meja.

Selig meledek Dylan seolah dia benar.

"Seperti yang sudah disepakati, kita akan mengadakan pengundian." Frank menengok Zara. "Nak, katakan sesuatu jika kau mau."

Zara berkedip, mengeratkan pelukannya pada Selig. "Aku ingin bersama Paman."

Hilda tidak nyaman sehingga berjongkok di sisi Zara. "Apa kau tidak takut dengan yang Pamanmu lakukan kemarin?"

Menghindari tatapan Hilda, Zara bergumam di dada Selig dengan jujur. "Aku takut. Tapi yang dikatakan Paman benar, jadi sekarang aku tidak takut."

"Apa yang kau katakan pada Zara?" Hilda memicingkan matanya.

Selig mengusap punggung Zara dengan kasihan. "Mengapa kau menekan anak kecil seperti ini?"

Hilda kehilangan kata. Jelas dia bertanya kepada Selig! Tapi rasanya lebih buruk jika dia berdebat di depan Zara.

Hilda akhirnya hanya bisa ditarik Adam untuk melepas suasana canggung.

Frank berniat menggunakan senioritasnya. "Aku juga ingin mengetahuinya."

Selig anehnya patuh. "Karena Ayah tidak sungkan menekan Zara, aku akan mengatakannya. Ayah memang sangat mendominasi. Ini pujian."

Sementara raut Frank memburuk, setiap pasang tangan dipaksa mengepal untuk menahan emosi mereka. Menghadapi Selig tidak bisa hanya mengandalkan logika.

"Aku berkata, terdapat milyaran sudut pandang di dunia. Tapi mayoritas telah menyelimuti minoritas, di mana yang putih dianggap terang, dan hitam dianggap gelap. Pertanyaanku, apakah pernyataan ini nyata?" Selig melirik mereka satu per satu, tidak ada yang berniat menjawab. Karena jawaban ini sudah pasti.

"Bila aku bertanya pada seorang tunanetra, mereka akan hilang arah. Tapi apakah mereka bertahan hidup?" Selig tersimpul.

Alih-alih menjawab Selig, Mark tidak sabar. "Katakan saja, untuk apa kau membahas ini dengan Zara? Sama sekali tidak berkaitan."

Selig kecewa. "Kalian ingin aku mengulang yang kukatakan pada Zara, ternyata juga perlu disederhanakan."

Mark tersedak.

"Makna dari kewarasan telah ditetapkan sejak masa lalu. Dengan menjadikan kebajikan tertentu sebagai standar, menentukan sudut pandang dunia akan baik dan buruk, tidak peduli apa yang kau alami dalam hidupmu. Padahal ada begitu banyak skenario kehidupan."

Selig mengusap kepala Zara saat anak itu menengadah. "Jika bertahan hidup dengan suatu prinsip terasa sangat berat, ubah saja. Nyatanya, tidak ada yang aneh. Hanya sebuah contoh perbedaan dalam beberapa hal. Selama kau hidup dengan sukses, kau berhasil."

Mungkin ini pertama kalinya Selig berdialog dengan begitu serius hingga mereka terpana. Lupa akan tujuan mereka untuk merebut Zara dari si bungsu.

Selig mencium kening Zara. "Beberapa orang akan menyakitimu beralaskan perlindungan. Aku akan menyakiti mereka untuk melindungimu."

13 Desember 2023

Selig: The CaretakerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang