Javaid tak terima ucapanku, dia marah. Dia sangat marah padaku. Matanya memerah, tangannya gemetar, terkepal sekencang-kencangnya dan hendak memukulku.
"Kau—,"
"Nyonya! Nyonya Benaiah! Nyonya!"
"Putri Galia, Nyonya Benaiah meninggal!"
Teriak-teriakkan para pelayan, dan tangis besar mereka juga ayahku, kemudian jeritan besar yang memberitahukanku kabar tersebut, seketika meluluhlantakkan dunia yang tadinya sekokoh tiang baja.
Jantungku seolah berhenti bekerja, air mataku spontan luruh begitu juga dengan Javaid yang kemudian berlari cepat. Javaid meraih tanganku dan kami sama-sama berlari meninggalkan danau.
Aku menangis dengan sekujur tubuh gemetaran.
Javaid dan aku menuju ke kamar ibu. Semua para pekerja, penjaga, pelayan, mereka berbondong-bondong memasuki rumah kemudian menangis bersama-sama dengan aku.
"Ibu! Ibu apa yang terjadi? Ibu buka matamu! Buka matamu, Bu. Ibu!" Aku menjerit. Kupeluk tubuh kaku ibuku yang diletakkan di atas kasurnya.
Ayahku memangku kepala ibuku. Dia sesenggukkan, wajahnya yang keriput tampak hancur remuk redam. Beliau lalu memelukku dan aku semakin hancur terisak.
Tiba-tiba awan duka datang menerpaku, setelah baru kuketahui bahwa Javaid dan Naida pernah berbincang bersama di dalam kamar dari Miranda semalam.
Aku menangis sejadi-jadinya, semua orang menangis dan mereka saling memeluk satu sama lain. Kulihat Naida datang, dia melotot, tampak shock dan terpukul kemudian memecahkan tangis besarnya.
Naida memeluk kaki ibuku di bawah. Kaki yang memucat, kaku dan dingin. Naida gemetaran, baru kali ini kulihat dirinya benar-benar menangis dengan begitu hancur.
Aku memeluk tubuh ibuku kembali. Rasa-rasanya napasku ingin putus, kuterisak tanpa jeda. Air mata Javaid pun luruh, dia dan ayahku berpelukan untuk saling menguatkan hati tetapi tangis ayahku kian menyeruak serak.
"Ibu... kenapa seperti ini? Aku tak ingin kehilangan Ibu untuk yang kedua kalinya. Ibu tolong bangun, aku berjanji takkan membuatmu kesal lagi, Bu. Tolong bangun."
Naida terisak-isak. Ia meracau tersiksa dan terus memeluki kaki dingin ibuku.
Entah apa yang terjadi pada hatiku, aku semakin menangis setelah mendengar ucapan parau tersiksa Naida. Kupeluk tubuh kaku ibuku kian erat, dan aku sungguh merasa hancur.
Baru pagi tadi dia memegang tanganku dan memberiku senyumnya yang cantik, kini aku harus menatapi wajahnya yang pucat dengan bibir kebiruan, pun tubuh yang kaku dingin.
Kami semua berduka, kehilangan sesosok wanita hebat yang selama ini mengatur perjalanan kisah Bangsawan Benaiah yang terakhir.
Suasana rumah ini mendadak bak terselimuti oleh kabut hitam. Kami kehilangan sesosok ibu, nyonya, juga wanita yang berpengaruh besar dalam trah Benaiah selama dua puluh tahun terakhir.
"K-kaki Ibu? Kaki Ibu kenapa? Kenapa kakimu begini, Bu?" Naida seperti orang bodoh tak waras. Ia terisak semakin hancur, hendak menyentuh betis kaki ibuku namun Javaid segera menarik tangannya.
Javaid lalu memelukku dan akhirnya aku menangis di dadanya. Aku menjerit, punggungku bergejolak lalu dia mendekapku dengan sangat erat. Kurasakan dia mengecup keningku, dan kembali mendekap tubuhku yang basah seerat mungkin.
"Apa yang terjadi? Kenapa bisa seperti ini? Kenapa Ibuku bisa tewas mendadak begini?" tanyaku serak juga suaraku bergetar.
"Nyonya Benaiah digigit oleh ular peliharaannya sendiri, Putri. Beliau ingin membersihkan kandang ular black mamba kesayangannya, dan ternyata ular itu sudah terlepas dari kandangnya sendiri. Lalu ketika aku dan Nyonya membuka pintu untuk masuk, ular itu sudah ada di depan pintu lalu tiba-tiba menggigit betis Nyonya Benaiah."
KAMU SEDANG MEMBACA
FORBIDDEN INTIMACY 1930
RomanceFollow untuk membuka bab-bab yang dikunci melalui web ! 21+ || CLASSIC ROMANCE ❝Bagaimana bisa aku melupakanmu? Bahkan aku masih dapat merasakan betapa nikmatnya dosa pertama kita di malam itu.❞ - Naida Benaiah ❝Aku akan mencarimu terlebih dahulu di...