"Kita ke danau."
"Danau? Ada danau di sekitar sini?"
Setelah kejadian semalam, aku sungguh merasa canggung kepada Hagan. Kami melewati malam dengan berdiam-diaman, di atas kasur aku gelisah sementara Hagan terus bergeming sembari membaca buku di kursi.
Kami saling melirik, membuang muka dan kembali lagi saling melirik.
Sampai aku benar-benar mengantuk, aku tertidur lalu pagi tadi kubangun dengan Hagan yang juga tidur tepat di sebelahku. Di ranjang yang sama kami tidur berdua, dan kuharap aku tidak mendengkur atau salah memeluknya.
Bagaimana bisa dia biasa saja padahal aku sudah begitu canggung?
Bagaimana bisa dia biasa saja padahal aku sudah begitu malu?
Setelah kusadar-sadari, aku lupa bahwasannya Hagan ialah pria dewasa. Usia kami terpaut tujuh tahun jaraknya, dan dia telah memiliki pengalaman dalam merajut hubungan serius bersama mantan kekasihnya dulu.
Mungkin itulah yang membuatnya biasa saja dan sekarang justru mengajakku untuk pergi ke danau.
Kuperhatikan Hagan yang menggendong busur panjang melintang di pundaknya, juga sekitar lima belas anak panah yang runcing mematikan. Dia menyisipkan juga dua buah belati di pinggang, lalu mengulurkan tangannya padaku.
Dia menatap mataku teduh. "Kubantu naik ke atas kuda," katanya.
Tanpa ragu aku menyambut telapak tangan besar Hagan yang kurasa hangat. Dia kemudian menggendongku, mengangkatku naik ke atas kuda, lantas Hagan ikut naik dan kini duduk di belakangku.
"Kenapa Yang Mulia di belakang?" tanyaku pelan.
Hagan memegang tali kudanya, mengendalikan kuda hitam yang gagah ini untuk segera berjalan membelah rerumputan.
"Hutan ini memang aman dari manusia-manusia jahat, tapi tidak dengan hewan buas lainnya. Aku khawatir hewan buas muncul dari belakang dan aku tidak melihatnya lalu mereka melukaimu," jelas Hagan. Dengan sadar aku mengulas senyum sembari melihat lurus ke arah depan.
"Yang Mulia mengkhawatirkanku?" tanyaku lagi. Menoleh ke samping masih tersenyum tipis.
"Akan kubiarkan kemarin kau pulang seorang diri jika aku tidak mengkhawatirkanmu. Parang yang kau bawa kemarin itu tidak akan berguna jika beruang atau hewan buas lainnya muncul secara tiba-tiba. Kau pikir aku terluka di paha juga lengan ini kenapa?"
"Tertusuk kayu kering?" sahutku.
"Um. Tertusuk kayu kering karena aku menerobos masuk ke sembarang arah saat induk rusa besar mengejarku. Tanduknya yang runcing dan bercabang itu hampir menusuk jantungku saat aku mencarikanmu seekor rusa."
"Woahh... Yang Mulia bertarung dengan induk rusa besar?" Mataku agak melebar saat kubayangkan Hagan mencoba untuk melawan rusa besar itu.
"Um. Aku ingin menembaknya tapi kulihat dia memiliki anak rusa yang masih menyusui."
Kudengar Hagan terkekeh rendah. Kudanya yang gagah ini membawa kami melewati hutan berpohon-pohon tinggi menjulang, anak sungai kecil, juga jalan tidak merata yang dipenuhi oleh lumut-lumut.
Dia seperti memelukku dari belakang, tubuhku terjaga oleh tubuh besar beserta kedua lengannya yang kekar. Aku merasa sangat aman, benar-benar aman.
Udara di hutan ini begitu dingin nan sejuk. Aroma rumput-rumput hijau tercium selalu di sepanjang jalan, kicauan para burung terdengar dari segala arah, dan rasanya sungguh menenangkan.
"Kau lapar?" tanya Hagan padaku. Dia agak merunduk dan mendekatkan kepalanya di pundakku sebelah kanan.
"Tidak, Yang Mulia. Yang Mulia lapar?" balasku bertanya. Kuingat kemarin dia hanya makan satu kali ketika hari sudah sore. Saat pukul tujuh tadi aku membakar daging, dia tidak ingin makan dan menyuruhku makan sampai kenyang.
KAMU SEDANG MEMBACA
FORBIDDEN INTIMACY 1930
RomansaFollow untuk membuka bab-bab yang dikunci melalui web ! 21+ || CLASSIC ROMANCE ❝Bagaimana bisa aku melupakanmu? Bahkan aku masih dapat merasakan betapa nikmatnya dosa pertama kita di malam itu.❞ - Naida Benaiah ❝Aku akan mencarimu terlebih dahulu di...