Chapter 38

12.1K 975 77
                                    

Pagi lalu datang.

Semalam, aku sungguh tak dapat tidur hingga pukul satu malam. Mataku terang, telingaku menangkap suara burung-burung liar, suara-suara gemerisik di dalam rerumputan, juga kaki-kaki hewan yang berlari-lari entah hewan apa.

Ditambah gerimis, semakin mengerikan sudah yang aku rasakan.

Hanya bermodalkan pelita minyak, sampai pukul satu malam aku terjaga sembari membaca buku guna menghilangkan rasa takut, panik juga gugupku.

Di atas ranjang aku membaca sementara Hagan tidur pada kursi kayu dengan posisi duduk yang agak merosot. Dua kaki kokohnya terbuka lebar, dia bersedekap dan herannya mampu tidur sampai pagi menjelang.

Lalu, pukul enam tadi, Hagan bangun lebih dulu dariku. Kudengar dia membuka pintu dan mengatakan, pakaian gantimu ada di dalam ranselku. Mandilah di sumur, aku akan pergi berburu.

Sampai sekarang pukul sepuluh, Hagan belum juga kembali. Aku telah mandi di sumur dengan perasaan was-was. Mataku melihat ke sana dan ke sini, takut kalau tiba-tiba Hagan muncul atau mungkin ada orang lain yang mengintip.

Dan ini. Ini yang membuatku merasa antara malu juga heran.

Dari mana Hagan tahu ukuran celana dalam juga braku?

Hey, bukan hanya gaun. Dia juga menyiapkan setiap gaun beserta bra dan celana dalam yang berwarna senada. Ukurannya pun sangat pas padaku. Semua pakaian-pakaian baru ini, dia yang membelinya atau siapa?

Lupakan. Intinya aku memakai celana dalam dan bra.

Aku menunggu Hagan pulang. Semua pintu aku kunci rapat dan kududuk di kursi sembari membaca buku yang semalam belum sempat kutuntaskan. Buku yang memang telah ada di rumah ini lalu terpatri di atas meja.

"Uh? Suara apa itu?"

Mataku teralihkan. Melalui jendela aku melihat ke luar, kepada Hagan yang muncul dari balik hutan.

Buru-buru aku berlari menuju pintu, membuka pintu kemudian keluar juga menunggu Hagan yang mendekati rumah.

"Yang Mulia, lengan dan pahamu berdarah," sosorku. Aku panik melihat lengan kekar serta paha kokoh Hagan mengeluarkan darah hingga menembus kain celananya.

"Hanya tertusuk kayu kering," katanya santai.

Setelah itu barulah aku sadar, terkagum-kagum saat melihat satu rusa yang Hagan pikul di pundaknya. Benar, rusa. Hewan sebesar dan seberat itu dia pikul entah dari sejauh mana sampai tiba di rumah ini.

"R-rusa? Yang Mulia yang menembaknya?" Aku menyentuh badan rusa yang masih hangat ini. Hagan menaruhnya di dekat sumur.

Bukan dengan suara, hanya dengan sekali anggukan serta mata terpejam Hagan menjawabku.

Saat dia akan memotong kepala rusa mati ini dengan parangnya, sesaat Hagan menatapku sedari atas kepala hingga ke bawah.

"Gaunnya cantik."

"Iya, terima kasih, Yang Mulia. Aku suka dengan gaunnya. Maaf telah merepotkanmu," balasku. Aku tahu gaun yang kupakai ini harganya pasti mahal.

"Pakailah. Kau pantas memakai gaun-gaun seperti itu," katanya. Hagan lalu menyembeli kepala rusa itu dengan cara menggorok lalu darah-darahnya muncrat mengenai dada serta memercik terkena wajahnya.

Dia lalu mengambil beberapa potong daging rusa dengan tebal-tebal. Mencucinya menggunakan air sumur kemudian menyuruhku untuk segera memasaknya.

Sambil memasak sesekali aku menoleh ke samping. Memperhatikan Hagan yang mandi di dekat sumur, menyirami tubuh besarnya dengan air dingin itu dan airnya langsung luruh, tergelincir dari kulitnya yang mulus.

FORBIDDEN INTIMACY 1930Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang