Chapter 11

13.2K 967 127
                                    

Belakangan ini banyak sekali yang terjadi secara tiba-tiba. Terlebih ketika ibu sambungku meninggal, di situlah duniaku terasa melebur.

Pertama, pagi setelah malamnya aku dan Javaid bercinta, Galia kembali dan dia langsung menciptakan suasana tegang di meja makan.

Dia seperti mengetahui hubunganku bersama suaminya, hingga memberiku dan Javaid sindiran-sindiran halus.

Aku mulai panik, tetapi untunglah Javaid mengambil tindakan dengan pergi dari meja makan, lalu mandi di danau belakang.

Ketika di danau sesuatu pun terjadi. Galia hampir membuatku putus napas, dia menekan kepalaku ke dalam air dan dia tahan lama. Aku sudah ingin menangis, dan terjadilah perdebatan antara Javaid juga Galia.

Javaid menyelamatkanku dari situasi itu, dan Galia sangat marah. Dia seperti wanita tidak waras yang mendadak ingin membunuhku lalu ketika ada yang menyelamatkanku dia sangat marah.

Manusia berhati mana yang akan membiarkanku mati begitu saja jika mereka mampu menyelamatkan. Itulah yang Javaid lakukan di dua minggu lalu.

Setelah itu aku pergi dari danau, meninggalkan Galia, Javaid, juga Miranda di sana. Aku berganti pakaian, mencuci lalu kujemur pakaianku yang basah, dan saat aku sedang berjemur diri di bawah panas, teriak-teriakkan dan isak tangis pun terdengar.

Ibuku meninggal.

Setelah sekian lama aku tak menangis, hari itu air mataku benar-benar jatuh dan aku menangis sehancur mungkin. Aku terisak kacau, hatiku remuk redam mendapati ibuku telah dingin kaku di atas tempat tidur.

Wajahnya pucat, bibirnya kebiruan, dan betisnya membengkak memar terdapat dua tanda gigitan.

Aku semakin remuk redam di sana. Aku gemetaran, teringat kini masa di mana ibu kandungku tewas di kala aku berusia tujuh tahun. Dua kali sudah aku kehilangan sosok ibu yang kukasihi, meski mendiang ibu Galia ini tidak begitu sayang padaku.

Besok paginya pemakaman pun dilaksanakan. Ketika semua orang telah pergi, aku masih setia duduk di samping makan ibu angkatku. Aku menangis tiada henti, kutatapi makam itu dengan sorot kosong, hingga akhirnya ayah Galia datang.

Dia memelukku, kami saling mendekap kemudian menangis bersama.

Dia hancur, begitu juga aku. Dia kehilangan wanita yang dicintainya, istrinya, dan aku kehilangan sosok ibu yang kukasihi.

Selang lima belas menit kami lantas meninggalkan makam. Ayah Galia kembali menemani para kerabat Bangsawan Benaiah yang akan menginap, dan aku memutuskan untuk ke kamarku lalu menenangkan hati.

Sebelum ke kamar aku menaiki anak tangga yang terbuat dari kayu mahal, dicat kecoklatan kemudian dilicinkan dengan tiner lalu dialas memakai karpet merah.

Aku akan ke lantai dua di atas hendak mengambil biola tua milik Galia yang dia buang kepadaku. Di sana, di lantai dua, pada ruangan musik aku menyimpannya. Akan kuambil lalu kumainkan di dalam kamar guna menenangkan hati juga pikiranku.

Namun, begitu aku melewati kamar Galia dan Javaid di lantai dua, langkahku otomatis terjeda.

Melalui cela kecil di pintu kamar mereka yang tidak tertutup rapat, aku melihat Javaid dan Galia berada di dalam satu selimut.

Mereka saling memeluk pun berpagutan bibir, dan kuperhatikan saat di mana Javaid mengecup lama kening Galia, tiba-tiba dadaku seolah dipukul satu kali dengan amat kuatnya.

Segera aku membuang muka, melanjutkan langkahku yang terjeda.

Dadaku panas, dan kusadari jika aku merasa cemburu. Cemburu kepada istri sah Javaid, tak sepatutnya aku memiliki perasaan seperti itu.

FORBIDDEN INTIMACY 1930Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang