"Hey... tenangkan pikiranmu. Naida tidak akan memberitahu Javaid tentang masa lalumu. Itu sudah berlalu."
"Sudah berlalu tetapi Naida mengetahuinya, Miranda. Sekarang dia memiliki cela untuk menghinaku dan aku tidak suka itu. Aku ingin menekankan bahwa dia dan mendiang Ibunya sajalah yang paling kotor."
Dadaku kembang kempis. Rasa-rasanya aku sangat marah, aku benar-benar marah kepada Naida.
Dia mengetahui cerita lamaku bersama Dani si lelaki nelayan itu. Naida tahu aku pernah tidur bersama Dani mantan kekasihnya—yang saat itu masih menjadi pacarnya.
"Kau sudah mengusirnya, Galia. Dia takkan bertemu lagi dengan Javaid, dan percayalah jika Naida takkan menceritakan hal itu kepada Javaid. Ini hanya kau, aku, Dani dan Naida yang tahu. Tenanglah," kata Miranda.
Dia memegang pundakku, berupaya menenangkanku yang sedang berkecamuk. Tadi aku sudah mengusirnya dari sini, mengusir wanita jalang itu pergi dan sekarang dia tinggal di rumah lama juru masak Rena.
"Aku ingin membalasnya, Miranda. Aku ingin orang-orang tahu bahwa dia berniat merebut Javaid dariku. Aku ingin orang-orang menghinanya dan mengatainya jalang sama seperti Wilda Romana," tuturku cepat.
Tak bisa kuterima jika dia dapat hidup dengan tenang. Mukanya yang menjijikkan itu layak untuk diludahi, dicaci maki juga dicemooh.
Sejenak aku dan Miranda bergeming. Kutatapi lilin beraroma terapi di atas nakas, dan Miranda menggigit bibirnya seraya berpikir.
"Aku tidak tahu—,"
"Aku tahu." Ucapan Miranda kusela cepat. Lantas aku berdiri menatapnya.
"Besok pagi-pagi sekali kau dan para pelayan yang pergilah ke pasar. Kalian sebarkan, beritahu kepada wanita-wanita penjual bermulut cerewet di sana tentang Naida yang gatal kepada Javaid." Aku agak melotot.
"Beritahu mereka jika Naida akan merebut Javaid dariku, bahkan telah tidur dengan Javaid. Beritahukan kepada mereka bahwa aku mengusir Naida karena kutangkap basah dia menggodai Javaid dengan tubuh bertelanjang bulat," tambahku cepat.
"Dan ungkit kembali kisah Wilda Romana. Sebut-sebut namanya, samakan anak dan Ibu itu. Biarlah mereka tahu bahwa sifat lacur dan binal Wilda turun kepada putrinya yang gatal."
Aku berkata-kata dengan cepat, lugas dan semua kata seolah tersusun rapi di kepalaku. Sementara Miranda kudapati dia terbelalak kecil. Tubuhnya pun agak menegang kini.
"Kau... kau yakin? Maksudku, kau yakin cara itu akan efektif?" tanya Miranda.
"Kenapa tidak? Mulut-mulut wanita tua dan kaum rendahan seperti mereka sangat suka menceritakan keburukan orang lain. Kabar itu akan lebih cepat tersebar ke seluruh kota seperti kasus Wilda Romana dulu. Dan Naida akan sangat tersiksa menahan malu serta amarah," balasku segera.
"Tapi, aku takut bila—,"
"Jika kau takut maka aku yang akan melakukannya sendiri," potongku.
"Pergi ke kamarmu dan tidur. Besok pagi-pagi sekali kau temani aku ke pasar. Aku sendiri yang akan mengedarkan cerita ini."
****
Aku tidak main-main dengan ucapanku. Pagi-pagi sekali sekitar pukul lima aku sudah pergi ke pasar ditemani oleh Miranda dan dua orang pelayan.
Kutunggangi kudaku yang berwarna coklat sementara Miranda dan kedua pelayanku berjalan kaki. Ketika hari masih remang-remang kami sudah tiba di pasar ini. Pasar terbesar yang berada di Edinburgh.
Kedatanganku membuat para penghuni kota merasa senang. Mereka semua menawarkan segala macam jualan mereka kepadaku dengan suka rela tetapi aku tetap membayar mereka dengan uang.
Miranda lalu memegang tanganku saat aku akan turun dari atas kuda.
"Putri Galia, bawalah sayuran ini ke rumahmu dan masaklah."
"Putri, bawa juga buah-buahan ini. Kami baru saja memetiknya dari kebun."
"Kau harus mencoba ini, Putri Galia. Ini daging rusa segar yang malam tadi baru kami potong. Ayo, bawalah."
Aku tersenyum kepada mereka. Semuanya kuterima lantas kuserahkan kepada Miranda dan juga dua pelayanku.
"Kita ke sana," ucapku pelan tanpa melihat Miranda. Mataku tertuju kepada sekelompok wanita-wanita tua yang duduk berjualan di bawah.
"Putri Galia," sapa mereka. Semuanya berdiri dan satu persatu menyalami tanganku dengan sikap tunduk.
Kutahan aroma-aroma tidak sedap yang membuatku merasa mual. Semalam hujan dan membuat jalan di pasar ini cukup berbecek.
"Jarang-jarang kau mendatangi pasar. Sepertinya akan ada pesta besar hingga kau sendiri yang pergi berbelanja," kata seorang wanita tua. Dia mengenakan gaunnya yang keabu-abuan kusam juga kusut.
"Tidak. Aku hanya ingin mencari beberapa bahan masakan di dapur," balasku ramah.
"Tadi kusuruh Naida yang ke pasar tetapi dia menolak. Sekarang dia masih tidur di ranjangnya yang hangat." Aku menambahkan. Dari sinilah aku akan memulai.
Mereka semua saling melempar pandang seolah tidak percaya Naida berlaku demikian. Menolak perintahku hingga aku sendiri yang turun ke dalam pasar.
"Adik kurang ajar. Harusnya kau menghukum dia," papar seorang wanita tua di ujung. Dia berjualan labu juga ubi.
"Aku tidak mungkin menghukumnya. Akan tetap kulindungi dirinya dari hukuman meski telah kutangkap basah dirinya menggodai suamiku, dan mengajak suamiku tidur bersamanya."
Tiba-tiba mereka semua membekap mulut. Memegang dada serta melotot.
"Ya Tuhan. Apakah dia ingin mengulang kembali kisah kelam ibunya yang jalang itu?"
Lihat? Belum sampai aku menyingging nama Wilda Romana, mereka semua telah mengingatnya. Mengingat kasus Wilda yang memang sangat terkenal, bahkan terkenang hingga kini.
"Buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya," kataku lantas kuedarkan pandanganku ke sekitar. "Dia ingin merebut Javaid dariku, seperti Wilda Romana yang dulu merebut suami orang hingga melahirkan anak perempuannya yang kini mengikuti jejaknya sendiri."
"Aku bahkan sempat melihatnya menggodai Javaid sembari bertelanjang bulat. Dia menarik Javaid masuk ke dalam kamarnya," sosor Miranda. Dia maju lantas berdiri di sebelahku tepat.
Kulirik Miranda memakai ekor mataku saja dengan kepala yang tetap lurus ke arah depan.
"Dia juga sangat malas bekerja. Di saat kami sedang sibuk di dapur, dia berleha-leha membaca buku di kamarnya. Dan setiap kali Wali Kota Javaid pulang, dia selalu tampak gelisah."
Kutarik sudut bibirku setipis benang. Melirik juga kedua pelayanku yang barusan berucap menambahkan.
"Benar-benar jalang. Wilda benar-benar menurunkan sifat jalangnya kepada Naida. Kau tak boleh diam saja, Putri Galia. Kau harus memberinya hukuman," imbuh wanita yang berjualan celery.
Kompak mereka semua tampak marah. Mereka saling berbicara satu sama lain, memasang mimik julid dan mulai mencemooh Naida.
"Permisi. Aku masih harus membelikan pakaian baru untuk Naida," kataku, pamit kepada mereka yang lalu membungkuk hormat.
Belum juga langkahku menjauh, sudah kudengar mereka semua di sana saling panggil-memanggil satu sama lain. Mereka ramai berkumpul, berbisik-bisik, berbicara dan kudengar mereka menyebut-nyebut nama Wilda dan Naida.
Kutunggangi kembali kudaku yang gagah. Kuulas senyumku dengan tipis dengan dagu terangkat menatap lurus ke depan.
"Kita pulang, Miranda. Selanjutnya biarkan mulut-mulut mereka yang bekerja untukku."
****
16 December 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
FORBIDDEN INTIMACY 1930
RomanceFollow untuk membuka bab-bab yang dikunci melalui web ! 21+ || CLASSIC ROMANCE ❝Bagaimana bisa aku melupakanmu? Bahkan aku masih dapat merasakan betapa nikmatnya dosa pertama kita di malam itu.❞ - Naida Benaiah ❝Aku akan mencarimu terlebih dahulu di...