Chapter 16

11.4K 934 111
                                    

Di depan kolam ikan aku berdiri. Mengamati ikan-ikan hias cantik yang berenang ke sana dan sini, lalu mendadak datang dengan bergerombolan begitu kulempari mereka pakan ikan.

Wajahku datar. Kuperhatikan ikan-ikan peliharaanku namun telingaku pun mendengarkan suara-suara kapak yang mendarat di kayu. Di depan saja para pria bekerja membelah-belah kayu bakar.

Miranda di sebelahku, dia memayungiku dengan payung berwarna putih.

"Waktunya makan siang," katanya.

"Aku tidak lapar," kubalas. Membersihkan kedua tanganku kemudian mengenakan kembali sarung tangan putih milikku yang terbuat dari bahan halus dan lembut.

Aku masih berdiri. Menatap kepada ikan-ikan yang telah berenang menjauh karena pakan mereka sudah habis.

"Dia sedang apa sekarang. Aku merindukannya. Dia belum juga membalas surat dariku." Aku bergumam. Melamun masih menatap air.

"Javaid?"

Kutolehkan kepalaku menatap Miranda. "Lalu siapa jika bukan Javaid?" Aku terkekeh, kembali menatap ke dalam air.

"Tidak mungkin Naida. Perempuan jalang itu lebih bagus mati."

"Maafkan aku, Galia. Membenci itu hakmu, tapi kau tak boleh terlalu membenci seseorang. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Bisa saja dia yang kau benci akan menjadi penolong utama di saat kau—,"

"Rasa benciku kepada Naida tak dapat kucegah, Miranda. Rasa benci ini tumbuh dengan sendirinya, dan semakin hebat ketika aku tahu semua orang menyayanginya," potongku cepat dan aku menjelaskan.

Aku menoleh lagi kepada Miranda. "Lagi pula apa yang akan kubutuhkan darinya? Aku sama sekali tak membutuhkan bantuan apa pun dari si jalang miskin itu. Untuknya makan saja dia sangat kesulitan," tambahku.

Kulihat Miranda mengangguk. "Kau benar. Tak mungkin dia dapat menolongmu, bahkan untuk menolong dirinya sendiri saja dia tak mampu," kata Miranda. Dia pun menatap ke dalam air sembari terus memayungiku.

"Menurutmu bagaimana? Apakah cara kita pagi tadi akan berhasil?" Kutanyai Miranda, karena aku sangat penasaran cerita itu telah semakin menyebar atau tidak.

"Kurasa itu sangat efektif. Naida akan mendapatkan segala hinaan, caci maki, tuduhan, juga cemooh dari semua orang. Kita tahu bagaimana mulut-mulut para wanita tua dari kasta rendahan seperti mereka di pasar pagi tadi," ujar Miranda.

Senyumku tercipta. Kuangkat daguku kecil dan melihat jauh ke depan di mana para penjaga kebun sedang merapikan semua bunga-bunga pagar serta tanaman-tanaman hias lainnya.

"Orang-orang akan menghidupkan lagi kisah kelam Wilda Romana lalu Naida pun semakin menderita. Kubayangkan dia menangis dan menahan sakit hati, rasanya aku sangat bahagia," ucapku pelan.

Membayangkan Naida menangis, menahan malu, dan tak dapat berkutik sungguh menciptakan rasa puas bahagia di dadaku. Dia dan ibunya memang pantas mendapatkan itu.

Anak dan ibu itu benar-benar jalang, penggoda pria, mengandalkan kecantikan mereka seolah-olah semua lelaki di muka bumi ini akan menyukai mereka.

"Temani aku," celetukku.

"Ke mana?" Miranda mengejarku. Berusaha agar tetap memayungiku ketika aku berjalan cepat namun tetap anggun.

"Ke rumah juru masak Rena, aku ingin menemui Naida Adikku tersayang."

****

Menunggangi kuda aku beserta Miranda berkhendak mendatangi rumah Rena

FORBIDDEN INTIMACY 1930Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang