Chapter 12

13K 972 227
                                    

"Bersiaplah untuk kehilangan Javaid, aku akan benar-benar merebutnya darimu karena aku jalang."

Aku berlalu. Kutinggalkan Galia beserta kuda-kuda mereka di sana.

Langkahku kubuat lebih cepat. Namun, sebelum benar-benar jauh aku berbalik ke belakang. Melihat Galia di sana dan dia berdiri dengan sikap menunduk, kudapati kedua tangannya terkepal kencang.

Aku tak memedulikannya lagi. Segera kutinggalkan lokasi tersebut dan menuju ke rumah. Siapa yang akan membawa kuda-kuda itu pulang aku tak peduli.

Hari ini, jika Galia mengusirku dari rumahnya, maka aku akan mengangkat kakiku dan kubuat nyata semua tuduhannya barusan.

Aku tidak berniat merebut Javaid darinya. Sekuat apa pun, sebesar apa pun aku mencintai Javaid, aku tak memiliki angan-angan untuk dapat hidup dengan laki-laki itu.

Suaminya akan tetap menjadi miliknya, sebab tak mungkin juga aku dan Javaid dapat bersama. Hubungan kami terlarang, kisah kami terlarang, cinta kami terlarang, dan keintiman kami pun terlarang, aku tahu itu.

Biarlah dunia ini mengolok-olokku, mengata-ngataiku sesuka hati mereka, tapi tolong jangan dengan ibuku. Dia sudah lama meninggal sedari aku berusia tujuh tahun, dia sudah kembali ke tanah, lalu kenapa orang-orang termasuk Galia masih mengucilkannya?

Dapatkah Galia terima jika kukatakan ibunya pun seorang perebut suami orang? Wanita muda yang dulu miskin lalu memaksa seorang pria Bangsawan untuk menikahinya walau tanpa cinta?

Dapatkah Gali terima jika kukatakan dia bukanlah murni seorang Putri berdarah Bangsawan?

Kita bicara fakta di sini. Galia bukan. Anak. Kandung. Ayahnya. Kutekankan itu.

Dalam keadaan mengandung ibunya datang kepada ayahnya saat ini. Dalam keadaan hamil muda wanita jahat itu mendatangi ayah angkatku, dan memaksa ayah angkatku untuk menikahinya.

Dia menjebak pria Bangsawan itu agar mengangkat derajatnya beserta seluruh keluarganya. Ini bukan lagi rahasia, semua orang tahu itu namun menutup mata akan kebenaran.

Tapi apakah Galia dapat menerima jika kukatai dia demikian?

Tidak!

Dia takkan menerimanya walau itu fakta.

Sama denganku, aku pun takkan menerima celaan orang-orang kepada ibuku yang bahkan telah lama kembali menjadi debu tanah. Tidak dapat kuterima sebab tak ada fakta kebenaran mengenai itu.

Tentang ibuku yang mereka katakan seorang perebut suami orang dan jalang murahan.

Sebusuk-busuknya seorang ibu di mata orang lain, dia tetaplah ibu kita. Kita lahir darinya dengan penuh perjuangan. Seperti ibuku yang telah melahirkanku, dan membesarkanku dengan semua derita juga derai air matanya atas hinaan tak berfakta itu.

Bayangkanlah betapa sakitnya hatiku. Dia menyuapiku dengan tangannya yang gemetar di malam berhujan petir yang gencar. Dia meminta makanan dari tetangga yang jauh demi untuk diriku karena ibu Galia tak memperbolehkan kami makan.

Lima tahun usiaku saat itu, dan aku telah mengerti apa itu arti sakit hati.

Air matanya luruh tatkala menyuapku di dalam kamar yang berpenerangan remang-remang. Dia basah kuyup, namun lebih dulu memikirkan perutku ketimbang dirinya.

"Jika kau dewasa kelak, jadilah wanita yang kuat, Naida. Kita hidup di perantauan. Bersyukurlah jika hari ini kita masih dapat makan."

"Ibu... Ibu juga makan... aku sudah tidak lapar lagi..."

"Ibu juga tidak lapar. Ayo habiskan, setelah ini kau tidur dan Ibu akan ke dapur mencuci semua perabotan."

Satu pukulan seolah mendarat di ulu hatiku. Langkah terjeda di ambang pintu dapur, mataku memanas dan detik itu juga pandanganku memburam.

FORBIDDEN INTIMACY 1930Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang