Hagan membuatku berbalik arah padanya. Aku menengadah menatapnya dan mata kami bertemu dalam remang-remangnya pencahayaan.
Kutangkap dia mengulas senyum samar-samar untukku dan kedua tanganku ini semakin dingin.
Gaunku hampir-hampir terperosot jatuh dari badan bila saja tidak aku tahan. Hagan melirik, melihat tanganku yang menahan gaunku sendiri.
"Naida." Dia memanggilku pelan.
Di sini pikiranku sudah sangat kacau. Aku bersandar di tepi meja, menekan tepiannya lalu kuremas kuat guna menopang tubuh.
Kepalaku benar-benar pening mendapati sorot matanya yang terlampau dalam dan tak berkedip. Aku, a-aku sesak napas ditatapi penuh arti olehnya.
"Yang Mulia..." Aku tertunduk, melihat ke atas lantai lalu kembali lagi menatap Hagan tinggi.
"I-ini mengerikan," celetukku spontan.
Saat aku bergeming gugup, Hagan justru terkekeh rendah dan sesaat dia mengulum bibir. Dia mengangguk samar-samar lalu seketika memenjarakan tubuhku, merunduk agak condong lantas menekan tepian meja di samping-sampingku ini.
"Kau takut?" Dia bertanya.
Mataku berkedip-kedip, tanpa ragu aku menyenggut cepat. Jarak wajah kami sangat dekat, hanya beberapa senti saja dan bibir kami pasti akan bertemu lagi.
Dalam keadaan takut dan gugup pun aku masih bisa terbius oleh parasnya.
"Tidak sebesar itu," bisik Hagan sesaat di telingaku. Dia lantas menahan senyum menggoda sambil menatapku.
Rasanya mukaku seperti terbakar, panas dan mungkin saja sudah memerah padam.
Senyum Hagan menghilang bergantikan mimik datar. Malam semakin larut dan suara burung-burung liar pun kian ribut. Redupnya penerangan tidak membuat ketampanan Hagan luntur.
Bermodalkan cahaya dari satu pelita saja aku masih dapat melihat ketampanannya dengan sangat jelas. Embusan napasnya saja terdengar seksi di telingaku.
Setelah beberapa saat kami hening dengan kontak mata terjalin intens, Hagan seolah menghipnotisku hingga ketika dia memagut bibirku lagi aku menerima dengan suka rela.
Bibir kami berjumpa lagi, dia merengkuh pinggulku lalu aku pun memeluk pinggangnya. Rasa ngeri di dadaku semakin menjadi-jadi tatkala kurasakan kejantanannya yang tertempel di perutku ini telah mengeras.
Aku melenguh kecil menerima isapan kencang bibirnya. Kami berpelukan, erat-erat Hagan memelukku tanpa ingin melepaskan pagutan kami.
Tubuhku tenggelam habis dalam dekapannya. Lumatan kami terjalin lama, saling mencecap dengan mata terpejam, pun kurasakan tangan Hagan berulah kembali.
Dia masukkan tangannya ke dalam gaunku di belakang. Memelukku langsung bersentuhan dengan kulitku di dalam, lalu memberi usapan-usapan lembut selama kami ciuman kami tidak terputus.
Kudengar napasnya berubah berat. Hagan mengubah arah kepala kami saling berlawanan arah, memperdalam ciuman kami dan dia menyesap lidahku kini.
Tiba-tiba dia menggendongku, mengangkatku enteng kemudian berjalan membawaku menunu ranjang. Bibir kami tak kunjung terpisahkan, justru lumatan Hagan semakin mantap lagi.
Aku terbuai oleh lumatan andal bibirnya. Lembut mendalam, memperlakukan bibirku sebaik-baik mungkin dan kini kuakui aku ingin terus dilumat seperti ini.
"Yang Mulia..." Aku berlirih panjang begitu Hagan menjatuhkanku ke atas ranjang.
Dari sini dapat kulihat Raja tampan itu yang berdiri gagah, tinggi besar dan tengah mengamatiku bersama tilikan sayu-sayunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FORBIDDEN INTIMACY 1930
Roman d'amourFollow untuk membuka bab-bab yang dikunci melalui web ! 21+ || CLASSIC ROMANCE ❝Bagaimana bisa aku melupakanmu? Bahkan aku masih dapat merasakan betapa nikmatnya dosa pertama kita di malam itu.❞ - Naida Benaiah ❝Aku akan mencarimu terlebih dahulu di...