BAB II : Latihan Pertama

16 4 20
                                    

     Ban mobil berhenti dengan mulus di depan sebuah auditorium yang kemewahannya sudah dapat ditebak dari luar. Angin menyambutnya seakan dia adalah tamu yang telah lama dinanti. Laura jadi merasa sedikit istimewa meski itu hanya karena angin.

Senyuman Laura perlahan memudar layaknya matahari yang berpulang ke peraduan kala dirinya menoleh pada sang Ayah yang duduk di sebelahnya, di belakang stir.

"Ada apa, Pa?" tanya Laura. Tatapan intens itu membuatnya agak bertanya-tanya kenapa lelaki begitu sering menatap wanita seperti itu. Bastian dan Indra selalu membuat Laura heran dengan tatapan lamat mereka.

"Papa jadi inget pertama kali kamu masuk sekolah. Papa 'kan yang nganter waktu itu. Kamu semangat banget persis kayak hari ini."

Lengkungan layaknya bulan sabit itu muncul kembali, ikut melebur pada genangan masa lalu.

"Bersamaan dengan itu, Papa juga jadi keinget sama mama. Dulu, Papa sering banget nganterin mama buat pertunjukan musik di sana-sini atau ngajar les. Mama seperti hadir di dalam diri kamu, Laura."

Tatapan Indra memunculkan gurat rindu yang meski dirajut dengan kuat tetaplah hasai. Rindu ini terlalu rapuh. Laura merasakannya sampai titik terdalam hatinya.

"Mama selalu sama kita, Pa." Tak ada yang dapat Laura katakan. Hanya itu yang mewakili segala kasih dalam dadanya.

Setelah turun dan Indra meninggalkannya, Laura menarik napas panjang untuk menetralisir gugup yang sempat menyergapnya. Inilah saatnya dia menunjukkan pada dunia bahwa gadis 25 tahun ini dapat bersinar bersama biolanya persis seperti mama.

Langkah demi langkah nyatanya membawa Laura pada jurang kegugupan. Urat-urat di wajahnya menegang hingga tidak sanggup untuk tersenyum pada orang-orang yang berpapasan dengannya di auditorium. Dan lagi, kenapa Bastian tidak memberinya pesan? Setidaknya ucapkan semangat untuk latihan pertama Laura di pertunjukan ini.

Laura semakin mengeratkan tangannya pada tali case biola yang digendongnya. Setiap mata yang menatap selalu membuatnya bertanya 'apakah dress baby blue ini terlihat aneh?' atau 'apakah aku berjalan seperti robot?' dan pertanyaan-pertanyaan lain dari seseorang yang selalu overthinking.

"Laura!"

Perasaan yang sempat minder akhirnya sedikit membaik dengan sapaan Sastro. Buru-buru ia mendekati pria berusia 54 tahun itu.

"Selamat pagi, Om," sapa Laura sehangat mungkin.

"Selamat pagi. Ayo masuk! Kami udah nunggu kamu."

Laura mengangguk kaku. Menunggu? Sudah lamakah mereka menunggu?

Ya ampun, Laura! Bisa-bisanya kamu bikin mereka nunggu. Ngaret sih jam 12 baru dateng.

Setiap hujatan pada dirinya sendiri sedikit tenggelam dengan keindahan panggung auditorium yang tersaji. Lampu-lampu yang tergantung di sana seperti memberikan seluruh perhatiannya pada manusia-manusia di bawahnya. Sudah ada pemain seruling, obeo, dan pemain-pemain musik lainnya yang terlibat dalam pertunjukan ini.

Sebenarnya untuk menjadi violinist tunggal yang membawakan eloknya Mozart Violin Concerto No. 3 in G Major membuat Laura agak tertekan. Bisakah orang sepertinya memangku karya indah dari Mozart?

Dua puluh menit Sastro memberikan beberapa pengarahan dan sedikit memberikan petuah seorang konduktor dan akhirnya mereka menyajikan Mozart Violin Concerto No. 3 in G Major. Bagian  Alegro dalam bentuk sonata yang dibuka dengan tema G mayor yang dimainkan oleh Nusantara Orchestra. Terdengar riangnya nada yang saling menyambung, membahu antara biola solo yang dimainkan Naraya Laura dengan iringannya. Terdengar apik saat Laura merasakan modulasi ke D mayor dominan.

KENAPA, LAURA? [Rampung] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang