Bau vodka menyeruak ke penjuru ruangan yang gelap itu. Sebuah lagu yang diputar dengan speaker Bluetooth mendominasi ruangan, memberikan kesan yang lebih dalam bagi si gadis. Orang-orang bilang untuk tidak mendengarkan lagu ini karena akan memicu bunuh diri seperti yang digaungkan selama ini. Akan tetapi, suara Billie Holiday terlanjur melekat pada telinganya.
Menatap lantai dingin yang didudukinya dengan tatapan kosong. Sweater yang membungkus tubuhnya terasa semakin membekapnya. Ia harusnya pergi untuk menemui seseorang, tapi hati kecilnya merantai kakinya di kamar ini. Tidak mungkin untuk pergi ke sana.
Kegaduhan di lantai bawah menyela lagu yang diputar gadis itu. Ia sudah menyerah dengan keadaan. Ia tidak ingin menghadapinya.
Orang yang ia jadikan tempat bersandar nyatanya tidak bisa sepenuhnya bersama dengannya. Saat dunianya mulai roboh, tidak ada yang menyangganya untuk tetap bertahan. Patah hati itu kembali terasa. Bedanya, kali ini lebih sakit.
Pernyataan yang agak ngawur, tapi jujur saja jika ia masih mencintai mantannya. Namun, takdir mengabaikannya. Kenapa mantannya tidak putus saja? Sudah bertahun-tahun ia menunggunya, tapi mereka begitu langgeng. Kenapa? Harusnya saat mereka putus kala itu, ia bisa mengambil kesempatan.
"Kenapa?" racaunya.
Diteguknya lagi Grey Goose Vodca dengan isi 750 mili liter itu. Nyaris ia habiskan malam ini demi menenggelamkan ketertekanannya seperti Titanic tenggelam di Samudra Altlantik Utara.
"Maaf, Bastian. Gue gak bisa."
🎻
Baru beberapa langkah keluar dari mulut pintu, kakinya kembali berhenti. Lagi-lagi ia teringat seseorang yang sejak tadi ditunggunya. Ke mana perginya? Apakah dia baik-baik saja?
"Ada masalah?"
Ia tersentak dengan suara seorang gadis yang sudah duduk manis di mobilnya. Untuk menjawab pertanyaan itu, ia menggeleng kecil. Jauh di lubuk hatinya, ia merasa resah.
Kenapa Raline gak datang ke sini?
"Kemaleman gak sih?" tanya Bastian, khawatir jika ayahnya Laura marah karena acara makan malam mereka.
Melihat jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 19:58, sedikit membuat Laura takut. Mungkin papa akan marah karena terlalu malam, tapi semoga saja mood ayahnya sedang baik malam ini.
"Kalo papa kamu marah, aku bakalan jelasin langsung ke beliau."
"Jangan!"
Sontak, kening Bastian mengerut, bingung dengan jawaban Laura.
"Why?"
Sama seperti mobil yang mereka tumpangi ini mundur, begitu pula kesadaran Laura untuk bertahan dalam pembicaraan ini juga melakukan hal yang sama.
"Hei .... Kenapa ngelamun gitu? Aku bakalan nemuin papa kamu biar beliau juga gak akan semarah itu."
"Jangan. Aku udah sempet hubungi papa. Jadi, gak perlu khawatir." Laura melempar senyum kecil, meyakinkan kekasihnya bahwa ia akan baik-baik saja.
"Serius?"
Laura mengangguk mantap. "Serius."
"Tapi aku bakalan tetep nemuin papa kamu. Ada yang perlu aku bicarain."
"Tentang apa?" Dengan cepat, Laura bertanya bersamaan dengan tubuh yang terasa panas dingin. Tumpukan prediksi membebani benaknya dari yang buruk hingga yang terburuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
KENAPA, LAURA? [Rampung]
RomanceKENAPA, LAURA? [Romance] "I'm your Romeo and you're my Juliet." -Bastian Narindra *** Anak tetangga membawa calonnya dan itu yang menjadi masalahnya. Setelah itu, banyak sekali dorongan untuk segera menikah dan itu membuat Laura pusinh di tengah...