BAB VII : Problematika

2 0 0
                                    

     Angin malam menyapa lewat ventilasi, menusuk tulang dengan tidak sopannya. Begitu sunyi dan senyap, bahkan jangkrik pun tak ingin bersuara selarut ini.

Kembali dikuceknya mata kanan, terasa berat untuk terbuka lalu kembali berair setelah menguap yang sedikit ditahan. Gadis 165 cm itu meraih segelas air mineral untuk merileksan tenggorokannya yang terasa kering.

"Udah jam 2 pagi, ya?" monolog Laura, menatap jam dinding berbentuk Keropi sambil berusaha menarik napas lewat hidungnya yang tersumbat.

Gadis itu membenarkan posisi practice mute di biolanya. Latihan sekali lagi mungkin tidak akan menimbulkan masalah.

Alih-alih membaca partitur lagi, Laura justru menghempaskan tubuhnya ke kasur. Ternyata tubuhnya benar-benar tidak kuat untuk lebih lama lagi. Rasanya seperti setiap nada menyedot energi yang ada dalam diri Laura secara terus-menerus.

Ditatapnya langit-langit kamar dengan lamat. Rasa itu kembali, rasa yang bahkan Laura telah lupa seperti apa. Berhari-hari memikirkannya sambil berlatih hingga larut malam nyatanya tidak cukup untuknya merasa lebih baik. Ia takut, takut jika semuanya kembali terulang. Bastian dan dirinya .... Mereka telah cukup dewasa untuk saling mengerti, bukan?

Mengenai Bastian, tak ada yang berubah. Laura tidak ingin bertanya, mengharapkan inisiatif laki-laki itu.

"Raline .... Kenapa, Bas?"

🎻

Dengan malas, pemuda itu meraih ponsel, lalu kembali memasukkannya setelah mengetahui jam berapa sekarang.

"Tidak ingin beristirahat dulu?"

Pertanyaan pemuda itu dijawab gelengan kecil dari gadis di hadapannya. Niel membenarkan posisi duduknya, menatap lekat pada punggung gadis yang telah berlatih biola selama satu jam setengah itu. Si gadis tidak menggubris. Dia kembali memainkan biola dengan khidmat tanpa bicara sedikit pun.

"Sudah pukul lima sore. Kau harus segera pulang." Niel beranjak, berjalan mendekati si gadis yang mulai berbalik ke arahnya.

"Setengah jam lagi aja," pinta si gadis.

Niel bungkam, menyambar jas hitamnya tanpa bicara. Ia ingin pulang. Jenuh rasanya melihat 1000 kursi kosong di hadapannya dan mendengar Mozart Violin Concerto No. 3 in G Major selama 1 jam 30 menit.

Niel terdiam, menatap gadis di hadapannya sambil menarik napas panjang.

"Wajahmu pucat, Laura. Lagi sakit?"

Sontak, Laura meraba wajahnya seperti dapat merasakan sepucat apa dirinya. Untuk menjawab pertanyaan Niel, Laura menggeleng kecil—padahal sekujur tubuhnya terasa panas.

"Kamu harus segera pulang. Dijemput gak?" Niel kembali bertanya.

"Aku akan pulang pake bus."

"Gak ada yang jemput?"

Laura menggeleng kecil. Papa akan lebih dari siap untuk menjemputnya.

"Ada, tapi aku gak papa kok naik bus."

Niel ragu. Lihatlah wajah Laura. Matanya sayu dan setengah berair, bibirnya pucat, dan gadis itu juga terlihat lemas. Kenapa tidak sejak awal Niel mengantarkan Laura pulang?

"Saya akan antar kamu."

Tentu saja Laura menolak dengan menggeleng. Meski kepalanya pusing, Laura masih sanggup untuk melihat jalanan dan memastikan diri tiba di rumah dengan naik bus.

"Aku kayaknya emang harus pulang dulu. Terima kasih atas segala koreksi dan waktumu. Maaf aku ngerepotin."

Hingga Laura berlalu pergi meninggalkan panggung, Niel hanya diam. Dia memikirkan sesuatu.

KENAPA, LAURA? [Rampung] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang