BAB XII : Tertaut

3 0 0
                                    

     Heels setinggi 5 senti itu mendominasi koridor yang sepi. Tangan rampingnya menjinjing biola tanpa terbalut case. Berulang kali, ditariknya napas berat, lalu memutuskan untuk berhenti memikirkan semuanya sejenak. Pikiran ini seharusnya tidak menganggunya. Kontaknya sudah ia blokir. Tidak ada akses untuk saling mengingat satu sama lain. Terkesan kejam, tapi mereka membutuhkannya untuk meredam ego masing-masing. Kali ini rasanya berbeda dari tidak saling berkabar sebelumnya. Rasanya begitu berat karena meninggalkan kata-kata yang mungkin membebani pikiran kekasihnya dan ... lamaran itu.

Ia kembali merutuki dirinya. Langkahnya semakin pelan seperti keinginannya untuk menjalani hari ini. Ingin secepatnya ia bertemu lelaki itu di hari mereka berbaikan dan mendiskusikan hubungan mereka.

Sejujurnya, ia merindukan wangi sandwood yang selalu identik dengan lelaki yang menemaninya selama 8 tahun itu. Ia selalu menyukainya ketika lelaki itu memakai pakaian warna coklat, warna favorit yang cocok pada tubuh proporsional lelaki itu. Dan rasanya ingin sekali tertawa saat mengingat lelaki itu phobia pada badut. Lelaki itu bilang bahwa badut mungkin akan menyedot tubuhnya dan warna-warna yang mentereng khas badut membuat lelaki itu takut setengah mati.

"Laura? Kamu sakit?" Gadis lain yang duduk sambil mengotak-atik biolanya itu bertanya, mendapati wajah Laura yang terlihat lebih kusut hari ini. Biasanya sata gadis itu memasuki panggung, dia akan terlihat berseri dengan senyum kecilnya.

"Enggak kok, Tria. Cuma lagi badmood aja. Yessika mana?" Tidak melihat kehadiran adik kecilnya turut membuahkan tanya di benak Laura. Biasanya gadis itu tidak bisa lepas dari Tria karena katanya Tria sering menjawab pertanyaan Niel ketika laki-laki itu bertanya tentang sesuatu pada para pemain orkestra.

"Tuh! Lagi bestie-an sama Bu Betty dan ibu-ibu lainnya."

Laura ikut tersenyum saat mendapati Yessika tengah asik menyimak obrolan ibu-ibu pemain musik, seperti tidak ada cerita apa pun di dunia ini yang dapat menandingi keseruan bersama mereka.

Laura bermain-main dengan biolanya agar jarinya bisa lincah di atas senar nantinya. Tidak lama dari itu, dua orang laki-laki  yang berbeda usia memasuki panggung, membuat para pemain orkestra duduk kembali di kursi mereka.

"Selamat siang." Lelaki paruh baya yang rapi dengan jas navy itu menyapa dengan cukup bersahabat, disapa balik dengan sama ramahnya oleh pemain orkestra.

"Sudah lama tidak bertemu. Saya harap, penampilan kita semua akan tetap lancar meski saya membuat semuanya terhambat. Maaf untuk itu." Sastro, dia kembali melanjutkan kalimatnya di depan para pemain musik.

"Dan ya! Latihan selanjutnya akan kembali diambil alih oleh saya. Maaf karena harus membuat kalian beradaptasi lagi dengan saya."

Semuanya mendengarkan dengan khidmat, tanpa ingin menyela atau menyahut apalagi tengokan Sastro pada Niel yang berdiri di sebelahnya membuat mereka penasaran.

"Saya merasa cukup senang karena dapat berlatih bersama kalian. Saya harap, penampilan kalian menjadi penampilan yang terbaik atas usaha kalian selama ini," ungkap Niel dengan lugas.

Bukankah ini pertanda pamitnya Niel?

"Terima kasih atas kerja sama kalian semua."

Semuanya bertepuk tangan dengan riuh, memberikan penghormatan yang sama pada konduktor pengganti mereka, menghargai kerja keras pemuda itu bagi performa bermusik mereka. Laura yang merasa sangat menghargai Niel di sini. Pemuda itu begitu berjasa baginya, mengajarkannya beberapa hal yang membuat kemampuan bermusiknya meningkat. Ada rasa sedih di sana, di lubuk hatinya. Mungkin untuk beberapa saat, ia harus beradaptasi dengan ketidakhadiran Niel yang selalu tepat waktu.

KENAPA, LAURA? [Rampung] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang