Aroma ayam goreng begitu dominan di meja makan. Laura lebih bersemangat makan malam kali ini karena Sulis juga memasakan makanan kesukaannya, capcai. Namun, kali ini lebih sepi. Becca tidak berkunjung. Mungkin besok karena besok malam minggu. Kalau Maudy, Laura tahu kakaknya masih merajuk pada ayahnya dan mungkin sekarang sedang marah-marah seperti perempuan di hari pertama haid.
"Gimana hari ini?"
Mendengarnya, membuat Laura melepaskan sendok dengan perlahan. Mama. Mama selalu menanyakan itu meski Laura seharian di rumah. Laura tersenyum pada ayahnya.
"Baik, Pa. Aku harap hari ini Papa ngerasa baik juga."
Indra mengacak lembut pucuk kepala putrinya sambil tersenyum kecil. Laura selalu terlihat manis seperti ibunya.
"Kalo nanti Papa udah makin tua, mungkin cuma kamu yang bisa Papa andalkan, Laura."
"Kenapa Papa ngomong kayak gitu? Kak Becca sama Kak Maudy sayang juga kok sama Papa. Mereka gak akan nelantarin Papa." Jika usia semakin bertambah dan mulai menapaki fase senja, ketakutan yang mendominasi adalah ditelantarkan. Takut tidak ada yang mengurus ketika sakit, takut akan panti jompo, dan takut menjadi beban bagi anak. Laura paham itu dan mungkin Indra merasakannya.
"Papa tahu mereka juga peduli sama Papa, tapi mereka mungkin gak akan sesabar kamu dalam mengurus Papa. Alih-alih ngurus, mereka mungkin bakalan nyuruh orang lain buat ngurusin Papa. Kamu kayak mama dan kedua kakak kamu kayak Papa."
Laura kembali tersenyum kecil dan mengusap tangan ayahnya yang mulai keriput, lantas berkata, "don't worry, Pa."
"Bastian masih sibuk, ya?"
Tuhan!
"Kenapa tiba-tiba nanyain Bastian?"
Indra menggedikan bahu. "Cuma nanya aja soalnya dia belum datang juga ke sini."
Tidak ada pertanyaan lagi, bahkan tidak ada suara kecuali sendok yang beradu dengan piring. Laura memutar sendok di piringnya yang sudah kosong setengah. Rasanya kembali hambar.
Laura memilin baju tidurnya, melenyapkan gugup yang mendominasi. Semoga Tuhan kembali memaafkannya.
🎻
Panggung yang sempat dihiasi riuh-rendah orang-orang, kini mulai sepi. Lengang. Udara bebas berlarian ke sana ke mari.
Pemuda yang akrab dipanggil Niel itu—itu pun jika dia memiliki orang yang akrab dengannya, berjalan menuju pintu keluar panggung sembari merapikan kemeja putihnya.
Niel membuka ponselnya sekilas. Terdapat pesan. Dibaca lalu dibalas dengan jelas dan sopan. Sambil memasukkan ponsel ke dalam saku celana hitamnya, ia menyisir pemadangan sekitar. Dia terkunci pada gadis ber-midi dress coklat dengan lengan panjang itu yang tengah berdiri tegak dengan biola di bahunya sedang tangan kanan memainkan gawai.
"Menunggu sesuatu?" Niel bertanya.
Gadis itu tampak sedikit terhenyak. Ia menoleh ke arah Niel dengan senyum kecil nan tipis di sana.
"Aku boleh latihan dulu di sini?"
Tidak ada jawaban yang diberikan oleh Niel. Sepertinya hal itu juga yang membuat gadis itu buru-buru melanjutkan ucapannya.
"Aku udah izin ke pihak auditorium. Mereka bilang boleh."
"Tidak ada hak untuk saya melarang kamu," balas Niel.
Dengan senyuman yang masih sama, gadis itu mengangguk kecil, memberi isyarat izin melanjutkan rencana latihan solonya.
Melihat punggung yang sedikit tertutup rambut gadis itu, Niel jadi teringat sesuatu atau lebih tepatnya teringat akan pesan yang masuk ke ponselnya tadi.
![](https://img.wattpad.com/cover/325889327-288-k493925.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
KENAPA, LAURA? [Rampung]
RomanceKENAPA, LAURA? [Romance] "I'm your Romeo and you're my Juliet." -Bastian Narindra *** Anak tetangga membawa calonnya dan itu yang menjadi masalahnya. Setelah itu, banyak sekali dorongan untuk segera menikah dan itu membuat Laura pusinh di tengah...