"Huh! Sebenarnya aku males latihan sampe malem."
Ingin rasanya mengeluh seperti Yessika barusan, tapi sepertinya tidak baik menyatukan dua orang yang saling mengeluh. Salah satu di antaranya harus menjadi pendengar yang baik.
"Kayaknya untuk beberapa latihan ke depan pun kita bakalan dipimpin sama muridnya Pak Sastro," sambung Yessika, membenarkan tali case biola yang digendongnya.
"Hm ..., kayaknya gitu."
Dalam setiap langkah, Laura bertanya pada dirinya sendiri. Sudahkah ia melakukan yang lebih baik dari latihan-latihan sebelumnya? Ataukah tetap pada posisi yang sama? Kegugupan ini membunuh kepercayaan dirinya secara perlahan. Laura terlalu takut berbuat kesalahan apalagi konduktor hari ini berbeda.
"Jangan tegang, Kak. Kamu kayaknya kebiasaan deh."
Yessika benar. Laura tidak perlu takut. Jika dia salah, maka dia akan memperbaikinya. Jika kurang, maka hanya perlu ditambah lagi. Belajar bukan tentang kesempurnaan, tapi bagaimana caranya menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Suara itu .... Suara yang merambat keluar dari arah panggung auditorium membuat keduanya berhenti sejenak.
Laura mengenalnya. Setiap kali busur menggesek senar, kelihaian tangan memainkan alur permainan, serta musik yang begitu familiar.
Tangannya meremas midi dress hitamnya dengan erat. Perlahan, Laura mendekati panggung, maksud hati ingin mengintip si pemain biola.
Ciiit ....
Laura memejamkan matanya dengan kuat. Bisa-bisanya papan panggung berdecit. Semoga saja, semoga saja si violinist tidak mendengarnya.
"Ganteng ...."
Mendengar gumaman Yessika di sebelahnya, Laura pelan-pelan mendongak. Mustahil rasanya si pemain tidak menyadari kehadiran Laura dan Yessika, tapi ... kenapa pemuda itu terus memainkan biolanya tanpa mengacuhkan mereka?
"Bach ...." Ya, Laura mengenal musik ini. Mama sering memainkannya dan jelas ini sangat familiar.
"Bach G Minor Sonata No. 1," tambah Yessika penuh kagum dengan setiap nada yang dirangkai oleh lelaki tampan itu. "Kakak, kalo bisa, aku akan bersumpah untuk tidak berkedip sampai permainan biolanya berakhir."
Dan jika boleh, maka Laura juga akan melakukan hal yang sama untuk pertunjukan ini. Jemari yang lihai berselancar di atas senar itu membawa petikan memori dengan adegan yang sama. Mama. Mama memainkannya di bulan Juni 7 tahun lalu.
"Nanti matanya bintitan loh."
Laura dan Yessika kompak terperanjat dengan suara di antara mereka. Si pemilik suara lembut itu adalah Tria. Dia nyengir tanpa rasa bersalah.
"Wah ... Yessika mulai berani sama cowok, ya?" goda Tria, menaikturunkan alisnya dengan senyum menyebalkan.
"Cowok seganteng Kak Niel siapa sih yang gak mau?" Semakinlah Yessika menjadi-jadi.
Permainan tiba-tiba berhenti. Pemuda berkemeja putih itu menatap mereka dengan lamat lantas memilih berpaling. Sayang sekali karena Laura tidak bisa mendengar bagian adagio dari Bach G Minor Sonata No. 1 hingga selesai.
Laura beserta para pemain orkestra mulai memenuhi panggung, mempersiapkan diri untuk latihan ke-6 mereka sebelum tampil di bulan November mendatang. Malam ini, Laura harus menampilkan permainan yang lebih apik dan halus. Dia pasti bisa!
"Semuanya sudah hadir?" Pertanyaan itu ditujukan bagi siapa pun yang ingin menjawabnya.
"Sudah."
Yessika langsung mencubit Tria yang duduk di sampingnya. "Kalo Kak Niel nanya, biar aku aja yang jawab!"
![](https://img.wattpad.com/cover/325889327-288-k493925.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
KENAPA, LAURA? [Rampung]
RomanceKENAPA, LAURA? [Romance] "I'm your Romeo and you're my Juliet." -Bastian Narindra *** Anak tetangga membawa calonnya dan itu yang menjadi masalahnya. Setelah itu, banyak sekali dorongan untuk segera menikah dan itu membuat Laura pusinh di tengah...