12. Wudar

1.7K 228 68
                                    

Jisung terbangun dengan keadaan kaget karena Snow yang meloncat di atas badannya. "Snow... tolong lain kali bangunkan aku dengan sedikit pakai hati, mengerti?"


Setelah mendapat meow dari kucing putihnya, Jisung bergegas melaksanakan kegiatan rutinnya sebagai pangeran di kerajaan ini, yup buang hajat.


Ini masih pagi, memangnya mau apa? Bahkan mungkin ayahnya sedang tertidur di ruang rapat ditemani setumpuk laporan di mejanya.


Saat matahari sudah lebih dari separuh yang muncul, ia mengarahkan langkahnya pada kandang kuda, mengecek beberapa kuda yang akan digunakan untuk berlatih sore nanti.



"Selamat pagi, Jisung." sapaan pagi dari Chenle ia balas dengan dehaman pelan.


"Chenle.."


Tidak ada sahutan dari Jisung lagi setelahnya, membuat ia memusatkan perhatiannya pada pangeran tunggal itu. Panik menguasainya ketika menemukan wajah Jisung memerah apalagi dengan hidungnya, seperti orang yang menahan tangis.

"Jisung!!"

Chenle mencoba menyadarkan Jisung, mencoba mendapatkan penyebab kenapa tiba-tiba matenya itu menangis hebat.

"Ayah.."


"Ya Jisung, bagaimana? Mau ku panggilkan Yang Mulia?"




























































"Sebenarnya ada apa denganmu?"



Mereka sedang beristirahat di taman belakang kerajaan setelah aksi menangis Jisung yang membuat panik Chenle setengah mati.


"Aku merasa ada yang membuatku.. sedih?" Jisung menatap Chenle jenaka. "Tolong jangan khawatir seperti itu, ini tidak akan berdampak apa-apa padaku."


"Tidak berdampak apa-apa bagaimana?! Keamananmu itu prioritasku, bagaimana jika kau terkena penyakit aneh yang tidak aku mengerti??"

"Itu tidak akan."

"Jadi apa yang membuatmu sedih?" alih Chenle, jika dilanjutkan mereka hanya akan bertengkar dan membuat Chenle tidak bisa mengawasi pangeran itu dari dekat.


"Rasanya.. seperti.. bagaimana aku mendeskripsikannya.. kehilangan seseorang??

melepaskannya pergi??

seperti itu, kau pernah merasakannya Chenle?"



"Hm, kehilangan seseorang?

Seperti kehilangan kakek di medan perang?"



"Mungkin seperti itu, entahlah. Seperti tiba-tiba saja rasanya dadaku ini diremas  kesakitan—TIDAK bukan dalam arti yang sebenarnya. Astaga Chenle berhentilah khawatir, aku akan segera bilang padamu jika aku membutuhkan tabib."



Jisung menghela napasnya pelan, karena Chenle akan selalu khawatir dengannya bahkan untuk luka dari kerikil kecil yang mengenai tangannya.


"Berhenti khawatir dan ayo ikut aku, kita akan berkeliling di pusat kota aku ingin membelikan pelana baru untuk latihan nanti sore."



Mereka berjalan santai sambil sesekali bercanda, mengurangi rasa khawatir Chenle. Andai saja mereka tidak melewati gerbang depan mungkin saat tengah hari mereka sudah membeli pelana dan beberapa roti isi untuk makan siang, tapi bahkan mereka baru melewati semak-semak—oh astaga Chenle bahkan sudah memberi tahu Jisung untuk melewati gerbang sewajarnya tapi langsung ditolak pangeran itu karena tidak ingin ada pengawalan ketat, bagi pangeran muda itu Chenle sudah lebih dari cukup—mereka berhenti, Jisung menyuruhnya untuk kembali ke camp pelatihan karena dirinya batal ke pusat kota.




WUDARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang