6. Penuh Dengan Harapan

1.5K 312 10
                                    

Tidak hanya Jisung yang menunggu, Jeno diam-diam mengeratkan pegangannya pada lengan kursi. Gugup menyerang ayah dan anak itu. Ayahnya pasti menginginkan hal itu, sedari dulu.


Sama gugupnya dengan Renjun. Tapi bedanya ia tidak mengharapkan hal tersebut terjadi. Seperti yang ia inginkan dari awal. Harusnya ia sudah lepas lima belas tahun yang lalu, seharusnya begitu. 


Renjun menatap bergantian kedua orang dihadapannya. Mereka mengharap pada orang yang salah. Bagi Renjun, ini adalah karma. Karma akan keserakahan penguasa. Mereka yang lemah akan selalu menjadi korban dan begitu seterusnya. Jadi dengan tegas Renjun berdiri dan melepas berbagai mahkota bunga yang Jisung buat untuknya, melepaskan jubah yang Jisung pasangkan untuknya, dan mengembalikan hadiah yang diberikan Jisung untuknya. Ia seperti disadarkan bahwa bukan disini tempatnya. Lalu berlutut dihadapan kedua petinggi kerajaan tersebut.



Jisung kebingungan dan menatap sang ayah yang wajahnya mengeras saat melihat Renjun bersimpuh dihadapan mereka.



"Dengan hormat, hamba memohon maaf karena menolak permintaan Putra Mahkota."



"Jisung!! Papa, panggil aku Jisung, Aku anakmu."


"Mohon maaf, Pangeran. Tapi anda bukanlah anak saya."


"PAPA!!"


Air mata Jisung tidak tertahan, remaja lima belas tahun itu menatap Ayahnya yang sedari tadi menatap matenya.


"Ayah katakan sesuatu, dia papaku kan?"


"Ya" / "Tidak"


"Sedari awal seharusnya kau menjelaskan ini, Jeno." Renjun menatap Jeno lelah. Orang dihadapannya ini, Renjun benar-benar harus memikirkan ulang atas semua yang terjadi selama ini.



"Bagaimana aku bisa mengatakan hal semenyakitkan itu untuk anakku sendiri? Pikirkan itu Renjun, bagaimana bisa kau mengatakan bahwa Jisung adalah anak yang tidak diharapkan papanya sendiri?"



Jisung terduduk dikursinya, menatap nanar bergantian ayah dan papanya, memang dirinya pernah berpikiran seperti itu, tapi ah ia tidak paham lagi.



"Aku.. aku.. Ayah?"


Jisung beralin menatap Renjun, berharap  yang dikatakan ayahnya adalah kebohongan.


"Aku—" katanya sambil menunjuk diri sendiri, "—hanya alat untuk membawamu" menunjuk Jisung "ke dunia ini, dari awal perjanjian kita hanya seperti itu, Pangeran Jisung."


Sebelum amarah menguasai dirinya, Jeno lebih memilih meninggalkan menara pandang. Jika ia terus menerus berargument dengan Renjun, ia takut akan berlaku kasar pada kekasih hatinya itu.




"Kita hentikan pembicaraan kita, Pangeran kau kembali ke kamarmu" Lalu telunjuk Jeno mengarah ke Renjun. "Dan pengawal akan membawamu kembali ke ruanganmu."




"Aku ingin Pangeran merenungi hal apa saja yang bisa ia simpulkan atas keputusan yang ia buat hari ini. Kita akan membicarakannya saat sarapan, Pangeran Jisung."




Jisung hanya bisa mengangguk pasrah tenaganya sudah habis, "Baik, Yang Mulia."
































"Bahkan dia menolak mengakui bahwa diriku adalah anaknya, Chenle. Bagaimana menurutmu?"

Chenle memusatkan pandangannya pada Jisung. Mereka berada di halaman belakang, sedang berbaring dengan Pangeran Jisung yang bercurhat tentang apa yang terjadi baru saja. Jisung sudah menuju kamarnya tadi, tapi ketika Chenle ingin menyapa ia malah dibawa disini.


WUDARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang