04. Lagi?

1.6K 319 10
                                    

"Sebenarnya ini tidak terlalu sulit, tapi bagaimana bisa anak raja seperti dirimu tidak bisa memahaminya?"

Chenle, lengkapnya Zhong Chenle. Anak kedua dari panglima tertinggi kerajaan yang saat ini sedang menemani Jisung belajar. Tidak ada keharusan sebenarnya tapi ketika melihat Jisung termenung sendiri di taman belakang istana membuatnya berjalan mendekat tanpa sadar, membantu sang putra mahkota yang mengerutkan alis pertanda tidak paham dengan apa yang dibacanya. Mereka sudah berteman sejak kecil ayah dan paman-maksudnya Raja Jeno pun sudah mengenalnya jadi tidak akan menjadi masalah.


"Chenle, menurutmu apa aku bisa bertemu dengan mate ayah?"


Chenle menatap Jisung sejenak, "Mate Raja?"


Jisung mengangguk kecil sembari membalik buku dan kembali mengerutkan alis.


"Bukannya mate dari Raja Jeno tidak akan pernah kembali? Bahkan kita tidak tau apakah Ratu saat ini masih hidup atau sudah meninggal?"


Itu yang sering Jisung dengar, keberadaan papa nya yang entah berada dimana membuatnya kembali terdiam menutup buku yang sukar ia pahami lalu merebahkan punggunya di tanah berlapis rumput hijau yang sering ia rawat bersama pekerja kebun.


Ia sering mendengar dari pelayan-pelayan yang sudah tua bahwa kakeknya melakukan pembunuhan massal pada keluarga papa nya yang menyebabkan sang papa tidak menghendaki untuk menikah dengan ayahnya.


Tapi syarat kebebasan yang ayahnya ajukan membuat papa akhirnya menurut dan hadirlah dirinya ini. Tapi tetap saja bagaimana bisa seseorang meninggalkan darah dagingnya sendiri. Bahkan yang melahirkan dirinya itu adalah seorang ratu.



"Kenapa? Kau ingin mencarinya?"


"Tidak, hanya penasaran saja."


"Kau tidak membencinya? Dia bahkan meninggalkanmu begitu saja, memilih kebebasan diatas segalanya."



"Siapa yang ingin menikah dengan anak dari pembunuh keluarganya, Chenle. Bahkan gelar ratu yang diberikan tidak membuatnya bertahan." Jisung menghela nafas sejenak. "Aku benci mengatakan ini, tapi aku tetap menyayangi papaku, walau beliau meninggalkanku."



Chenle membersihkan celananya dari tanah atau beberapa rumput yang mungkin menempel pada celananya. "Kalau begitu kenapa tidak kau cari?" yang hanya dibalas gelengan dari sang pangeran.



Mata tajam Chenle menatap langit sambil berkeliling, memeriksa sejenak keadaan sekitar, keamanan pangeran adalah salah satu prioritas hidupanya, hal inilah yang menjadikannya diterima raja menjadi teman dekat sang pangeran. Lalu berhenti di sayap kanan kerajaan, tepatnya di lantai keempat. Seorang pria cantik yang sedang termenung menatap langit, wajahnya sekilas terlihat muda tapi jika dilihat lebih seksama kemungkinan seumuran dengan Raja Jeno.



"Bangsawan mana yang berbuat ulah, pangeran?"


Jisung mengikuti arah pandang Chenle "Aku juga tidak tahu, tapi menariknya paman itu juga menyukai bintang dan langit sama sepertiku."























"Kalau begitu saya anggap kasus bandit di daerah utara telah selesai." Jendral Kim memberikan penghormatan kepada raja sebelum meninggalkan tempat.

Pekerjaan hari ini lebih sedikit membuatnya dapat meninggalkan ruangan kerja lebih cepat. Setelah menyelesaikan semua kasus kerajaan saatnya menyelesaikan kasus keluarga. Kaki jenjangnya melangkah dengan tegas ke arah ruangan yang belakangan ini sering ia kunjungi. Kembali teringat laporan pelayan yang bertugas mengantar makanan bahwa makanan yang diberikan tidak disentuh sama sekali bahkan untuk air pun. Sekali dua kali pelayan mungkin memaklumi tapi ini sudah terjadi sejak tahanan masuk ke ruangannya.


Jeno menarik napas dalam, berkeyakinan pada diri sendiri bahwa ia tidak akan lepas kendali dan meluapkan emosi pada Renjun lagi. Ketika pintu terbuka ia mendapati sang pujaan hati sedang melakukan meditasi ditemani dengan semburat jingga yang menunjukan waktu sudah sampai di sore hari.




"Sampai kapan kau akan menolak semua makanan yang diberikan."


Renjun membuka matanya perlahan. Sudah terlalu malas meladeni raja yang sering berkunjung ke ruangannya ini


"Berhentilah menyiksa dirimu, Renjun. Aku suamimu disini. Bisakah kau sedikit memberiku rasa kasihan."


"Bukannya aku yang harus diberi rasa kasihan?"


Jeno menatap Renjun nanar, "Kau berjanji Jeno, kau berjanji untuk memberiku kebebasan. Kenapa sekarang kau seperti ini?"

"Aku-"



"Kerajaanmu makmur, anakmu sehat dan pintar bahkan kau bisa mencari orang lain untuk menjadi pendampingmu. Apa kau akan terus menahanku disini?"


"Renjun, dengarkan aku-"

"Kalau kau tidak-



Jeno mengusap wajahnya kasar. Ini tidak akan berhasil. Selama ini ketika mereka bersama tidak akan pernah bisa berdamai. Jeno tidak pernah bisa melepaskan Renjun. Demi Dewi Bulan, mereka ditakdirkan bersama, bahkan sampai mati pun ia tidak akan berniat menceraikam Renjun.


"Kau seorang laki-laki, bahkan seorang raja. Bagaimana bisa kau membuat rakyatmu bahagia tapi tidak denganku, aku juga salah satu rakyat."


"Renjun, kau tau aku mencintaimu. Mengertilah ini berat untukku."


"Lima belas tahun yang lalu pun juga sama beratnya untukku, Jeno."



"Tidak bisakah kita membuat penawaran yang lain?"



Perlahan Renjun bangkit, mendekati jendela yang menunjukan langit sudah mulai kemerahan tidak seoranye tadi. Malam segera tiba, dan petugas makan malam akan datang lagi. Ketika itu pasti Jeno akan memaksanya makan bagaimanapun caranya. Lelaki di hadapannya tidak akan menyerah, dan tidak akan pernah menyerah kepada dirinya bahkan ketika lima belas tahun telah berlalu. Dan ketika itu pula dirinya selalu memiliki selipan empati yang membuatnya menuruti permintaan orang yang menjadi matenya itu.



"Kadang aku berpikir, kenapa Dewi Bulan sebegitu jahatnya memberikan mate yang merupakan keluarga kerajaan yang membunur keluargaku. Dan bahkan dia memiliki anak dari ku. Bahkan ketika orang itu memberikan janji kebebasan ia tidak menepatinya."



"Apa kau tidak ingin menemui Jisung, Ren?"



Renjun menggeleng pelan, ia harus lebih kuat lagi jika tidak ia akan terjebak disini selamanya. Apapun yang Jeno ucapkan dirinya percaya itu hanyalah tipu muslihat lelaki itu untuk menahannya disini.



"Dia terkadang tertidur ketika di perpustakaan untuk mencari foto dirimu di album foto kerajaan,

sudah berkali-kali ia mencari bahkan mengulang sampai sepuluh kali di buku yang sama, takut jika terselip katanya.

Ia tidak membencimu karena ia tau latar belakang kita,

ia tidak mencoba mencari dirimu dalam wujud manusia kita ini karena ia tau papa nya pasti kesakitan."


Ah, air mata sialan. Jeno mengusap pelan cairan yang mengalir di pipinya itu. Komandan tertinggi kerajaan yang tegas menangis hanya karena anaknya yang tertidur di perpustakaan. Ah bahkan ia tidak ingat berapa kali tepatnya ia memergoki Jisung bertanya pada pelayan tentang sosok papanya yg pernah tinggal di istana selama kurang dari satu tahun.


"Aku tidak peduli,"


"Dia anakmu, anak kita, darah dagingmu, Renjun."


"Dia anakmu bukan ku.".
























































"Bagaimana kalau kau menunjukan dirimu pada Jisung memberinya sedikit rasa kasih serta sayang lalu aku akan memberikan kebebasan yang kau maksud."























































"Hee? Kau yakin akan menepatinya? Dan tidak mengirimkan shotaro atau kembali menahanku disini lagi?"

WUDARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang