03. Remaja

1.6K 331 10
                                    

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya, tuan sandera?"


Renjun mengalihkan padangannya ke asal suara. Matanya sedikit mengerjap memusatkan perhatiannya, karena walaupun ruangan luarnya terang benderang tapi tidak dengan ruangan Renjun. Ketika penjaga yang bertugas menghidupkan lilin keluar ia akan langsung mematikan semua lilin yang ada. Tidak ada sebab khusus karena ia suka di kegelapan.


Celah berukuran tiga puluh kali tiga puluh senti meter sebagai tempat berkomunikasi tahanan dengan orang luar menjadi pusat atensi Renjun.


"Apakah kau orang yang ayah tahan?"


Renjun diam, tidak ada niat menjawab pertanyaan dari anak muda yang ia pikir hanya iseng berjalan-jalan. Anak siapa yang diperbolehkan menyusuri kastil bahkan sampai ke daerah sini.



"Apa kau tidak bisa bicara?"



Jisung meletakan Snow di lantai disusul dengan pemilik Snow yang duduk di sebelah pintu. Menatap jendela yang menampilkan ratusan bahkan jutaan bintang yang tidak dapat ia hitung berapa jumlahnya.


"Maaf aku mengganggu waktumu, tapi aku biasa melihat bintang disini, bahkan bintangnya terlihat lebih cantik ketika melihat di ruangan yang kau pakai itu."





"Kau ingin melihatnya bersamaku?"




Pertanyaan meluncur begitu saja dari mulut Renjun. Ada rasa sesal sedikit karena dirinya gegabah berbicara dengan sembarang orang.






"Aku ingin sekali, bahkan aku bisa membuka pintu ini, tapi jika ayah tau mungkin beliau akan menghukumku untuk belajar dengan guru besar yang sangat kolot itu mulai purnama sampai purnama lagi."






Jisung sedikit terkekeh, ia tidak pernah merasa cocok dengan orang-orang kerajaan kecuali ayahnya. Tapi dengan orang yang baru mendengar suaranya dari beberapa patah kata membuatnya menghangat. Siapa orang di dalam penjara ini? Bangsawan dari mana ia?



"Apakah ayahmu kepala departemen keamanan tuan?"



Tangannya tidak lelah mengelus pelan kepala Snow yang saat ini tertidur seperti bentuk daun, "tidak, ia bahkan lebih dari itu.".



"Dia yang memenjarakanmu tuan- kalau boleh ku tau siapa nama anda?"




Jisung.. Kaukah itu?





"Tuan?"


"Renjun, kau bisa memanggilku Renjun. Dan aku seumuran dengan ayahmu jadi kau bisa memanggilku paman."




"Ah, Pamam Renjun. Kau bisa memanggilku Jisung, Paman. Biasanya orang-orang menambahkan pangeran di depan namaku tapi karena paman menawariku untuk melihat bintang bersama, paman hanya perlu memanggilku Jisung tanpa pangeran.



Renjun tersenyum tipis melihat bayangan Jisung. Atau Pangeran Jisung, anaknya dengan Raja Jeno.



























"Dimana Jisung berada, kepala pelayan?"


Kepala pelayan yang bertugas untuk mengatur makan malam saat ini memberi hormat kepada Jeno sejenak.

"Pangeran berkata akan makan malam di kamar saja, saat ini pangeran berada di sayap kanan Yang Mulia-

sedang melihat langit."


sedang melihat langit. Kebiasaan anak semata wayangnya yang tidak pernah terlewat ketika langit malam sedang cerah tak berawan.

Jeno memperlambat langkahnya ketika mendengar suara tawa dari dua orang di ujung bagian area sayap kanan. Suara Jisung dan..... Renjun?


Perasaan hangat dan ingin tahu tiba-tiba melingkupinya, bagaimana bisa papa dan anak itu seakrab ini mereka bahkan belum pernah bertemu kecuali saat Renjun menamai anak itu.


"Aku senang berbincang denganmu paman, bagaimana jika paman menjadi asisten pribadiku pasti akan sangat menyenangkan."



Tapi perasaan hangat itu memudar dari benak Jeno ketika mendengar Jisung memanggil orang yang melahirkanya dengan sebutan paman. Selain tidak mengakui bahwa ia adalah suami dari seorang raja, Renjun juga tidak mengakui bahwa Jisung adalah anaknya.




"Aku seorang tahanan, Jisung. Tentu daja itu tidak bisa terjadi."


"Tentu saja bisa, aku akan meminta kepada ayah. Paman tidak perlu khawatir-"

Jisung tergagap berdiri saat melihat ayahnya datang dengan badan tegap tanpa jubah dan tanpa mahkota. Menandakan saat ini yang berada di hadapannya adalah ayahnya Lee Jeno, bukan Raja Lee Jeno.


"A-ayah.."

"Kau melewatkan makan malam lagi dengan ayah, nak."

Jisung mengangguk pelan mengeratkan pelukan kepada Snow tanda ia takut akan dimarahi.


"Ayah tidak akan memaharimu tapi sayang sekali, mulai malam ini ayah akan melarangmu untuk melihat langit di area ini, Jisung. Kau bisa menggunakan bagian lain dari istana dan tentunya tidak dengan lewatkan makan malam."


"Baik, Ayah." Jisung membungkuk sedikit lalu berjalan pelan dengan lesu menuju kamarnya.



Seperginya Jisung, Jeno membuka pelan gembok, rantai dan segala pengamanan guna pintu tahanan ini tidak terbuka. Ketika masuk ia dihadapkan pada Renjun yang duduk di tepi pintu. Sepertinya pembicaraan dua orang yang berhubungan darah itu begitu seru.




"Berbincang dengan Jisung? Bagaimana perasaanmu?"





Renjun mengalihkan pandangannya, menolak tatapan Jeno kepadanya. Tapi seulas senyum muncul ketika ia mengingat beberapa percakapannya dengan sang anak.



"Pangeran yang baik."




"Apa kau tidak ingin bertemu dengannya Renjun?"




"Untuk apa?"




"Tentu saja untuk memberitahu bahwa kau adalah papanya."

Renjun tersenyum remeh. Papa? Renjun bahkan dengan senang hati membuatnya anaknya itu memanggil dirinya paman, dan bahkan dirinya saat ini adalah tahanan kerajaan, bagaimana bisa ia menemui Jisung lagi dan mengakui diri sebagai papa dari anak itu.





"Kemarin kau mengurungku disini, dan sekarang kau memintaku untuk mengaku sebagai papa dari anakmu. Apakah esok kau memintaku untuk menjadi Ratu dari kerajaan ini Jeno."



"Kau memang ratu kerajaan ini."



Renjun menatap tajam Jeno- berharap apa yang menjadi mimpi buruknya tidak pernah terjadi.





















































"Aku tidak pernah menceraikanmu..."

WUDARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang