11. Kesempatan

1.3K 251 17
                                    

Ketika membuka matanya, Renjun menemukan dirinya berada di tempat yang terkahir kali ia datangi sebelum ia terlahir.


Rumah Sang Dewi, yang berada di langit ke sembilan.


"Selamat datang, anakku."



Renjun segera memberi hormat kepada Dewi Bulan sang penguasa dunia ini. Tidak banyak orang yang bisa bertemu dengan beliau. Maka Renjun merasa dirinya sangat beruntung.


Sang Dewi turun dari singgasananya dan membawa Renjun keluar, untuk berkeliling walau pemandangan yang mereka dapatkan hanya hamparan langit putih.


"Bagaimana perasaanmu, Renjun?"


"Hampa sangat bersyukur bisa bertemu dengan Anda, Ibunda."

"Aku juga senang bertemu denganmu, anakku. Sering juga memperhatikanmu karena tidak sengaja mendengar tangisanmu di malam hari beberapa minggu terakhir ini."


Renjun berdiri kikuk, mendengar penuturan Dewi. Apa sesering itu ia menangis ketika berada di kastil Jeno? Ah harusnya ia berdoa dalam hati saja.

"Itu.. maafkan saya, ibunda."


Dewi menatap Renjun gemas, bagaimana bisa orang tua yang sudah memiliki anak lima belas tahun ini masih seperti anak-anak dihadapannya.


Tapi waktu sudah berjalan cukup lama di langit ke sembilan, ia tak ingin membuang waktu anaknya terlalu banyak.


"Kita langsung saja, jadi apa yang kau inginkan anakku?"













































"Bagaimana cara ke langit ke sembilan?"


Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut anak berumur lima belas tahun. Taeil mendekat ke arah Jisung, badan Jisung yang sedari tadi tegang mulai melemas. Penyebabnya tegangnya badan memang mantra ritual tadi, selain itu emosinya juga tida terkontrol menyebabkan pikiran untuk melakukan tindakan implusif. Seperti kata Taeil, ia tidak menyarankan orang untuk masuk ke lingkaran mantranya. Karena dengan mudah akan memanipulasi pikiran serta fisik mereka.

"Jadi bagaimana, Kakek Taeil?


Astaga, anak Renjun ini memang lucu sekali. Baru kali ini ada yang memanggil dirinya kakek. Memang secara sistematis berdasarkan pohon keluarga ia memang kakek dari Jisung. Tapi semua yang mengenalnya menyamaratakan untuk memanggil dirinya paman, sebagaimana Renjun memanggilnya.



"Bagaimana kau bisa menyebutku kakek, bahkan kita belum bertemu sebelumnya."


"Kita pernah bertemu,"


Taeil mengerutkan keningnya, berpikir dimana mereka bertemu.


"Kita hanya berbeda tangkai Kakek, kau berada di tangkai bunga barat nomor tiga dan aku beserta papa berada di tangkai nomor lima."


Tangkai? Ahhh. Taeil tertawa pelan. Bagaimana bisa anak ini bahkan mengingat bentuk mereka saat belum menjadi manusia.


"Haha, kau sangat lucu sekali. Apa ayahmu yang mengajarimu?"



"Mengajari apa?"


"Menjadi selucu itu."



Jisung tiba-tiba saja sebal. Padangannya ia arahkan ke arah papanya. Badan yang tadinya berdiri sekarang setengah melayang. Badannya papanya itu tidak menapak di lantai paviliun seperti tadi.


WUDARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang