Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Ketawa lo? Gue cemas banget sialan! —maksudnya sialannya buat gue." —Arsenio.
"Takut." —Vania.
o0o
Ketika Arsenio sudah sampai di depan halaman rumah perempuan itu, ia segera mengabarinya melalui pesan. Kemudian selang beberapa menit, Vania dan Gibran keluar dari rumah dan langsung menghampiri mobil Arsenio.
Vania duduk di sebelah kiri Arsen yang mengemudi, sementara Gibran duduk di kursi belakang.
Di pertengahan jalan, Arsen sesekali melirik ke arah Vania yang dari awal masuk mobil hanya diam saja.
"Tadi lama ya nunggunya?" tanya Arsen mencoba mencairkan suasana.
Vania menggeleng kecil. "Enggak."
"Kamu marah, Van?"
"Enggak."
Arsenio menghela napas jengah. "Mau mampir ke alfa dulu nggak?"
"Enggak."
Barulah Gibran ingin membuka suara dan menjawab iya pada tawaran Arsen, Vania lebih dulu menjawab tidak.
"Kenapa Kak?" heran Gibran. "Gue mau beli minum. Lagian ke bandara lumayan jauh, capek kalau nggak ada kunyahan."
Vania menoleh kebelakang, melirik Gibran yang kini raut bocah itu sudah cemberut. "Emang kamu yang nyopir, sampe kamu bilang capek? Nggak usah kelewatan deh, Gib." ketusnya.
"Kelewatan kata kamu tuh gimana sih, Van?" tanya Arsen.
Vania menoleh dengan tatapan tajam, sementara Gibran tidak begitu hirau. Pikirnya, jika Vania marah-marah lagi. Setidaknya ada Arsen yang akan membela.
Arsen berhenti di salah satu Alfamart. Sebelum turun, Arsen bertanya sekali lagi pada Gibran.