III

495 101 3
                                    

Zoro memasuki sebuah rumah kayu yang berada di pojok pemukiman, sedikit jauh namun cukup dekat untuk mengawasi sekitar. Tangannya kemudian memutar kenop, mendengarkan decit dari engsel tua ketika pintu terbuka. Sebuah meja bundar yang diletakkan di tengah sudah dihiasi lilin, membakar dan berkobar. Suara dari perdebatan antara beberapa orang terdengar memenuhi seisi kabin.

"Kita harus membuat strategi secepat mungkin, lebih cepat lebih baik," ia dengar Ace berkata. Sabo mengerutkan keningnya dan menghela napas. "Sebelum mereka menyerang," tutupnya.

"Lalu apa? Bagaimana kalau kita kalah? Kita tidak boleh gegabah lagi, kau ingat kali terakhir itu terjadi?" Sabo menghentakkan kaki ke atas lantai.

"Tapi setidaknya kita berhasil membuat mereka terpojok dan panik, serangan tiba-tiba itu berhasil!" sambung Ace lagi.

"Tapi pikirkan kerugian kita juga! Kita kehilangan banyak teman, Ace," Sabo berucap. "Banyak..." matanya kini memandang Zoro penuh simpati.

Zoro terdiam. Ia ingat hari itu. Ketika mereka memilih untuk menyerang dari segala arah, membuat musuh terpojokkan. Dalam panik itu tembakan demi tembakan meluncur, menerpa siapapun yang berani maju sementara tombak dan panah mereka menusuk. Suara dari pedangnya yang menghunus kepala juga masih terdengar nyaring di benak Zoro. Dan satu suara rintih terakhir dari kematian yang merenggut nyawa kekasihnya pun bergema. Segalanya terjadi dengan cepat, tidak menyisakan waktu baginya untuk menyampaikan duka. Hanya dari sudut matanya dapat ia lihat bagaimana sebuah peluru menembus jantung, bagaimana ia berulang kali gagal dalam melindungi siapapun yang ia sayangi.

Ia menggelengkan kepala. "Ace benar... Kita bisa lihat mereka langsung menarik pasukan mundur setelah mendapat ancaman, mereka tidak lebih dari pengecut berbaju besi,"

"Kau..." Sabo menahan ucapannya dengan menggeritkan gigi.

Dingin, tidak berperasaan. Zoro tahu.

Ia mengangkat wajahnya, beralih dari jari yang mengetuk meja berulang. "Tapi serangan itu tidak akan berhasil untuk kedua kalinya, kita hanya akan melakukannya sekali untuk membuktikan bahwa kita mampu," ucapnya tegas. "Kita perlu cari cara lain,"

Sabo menghela napas lega. Zoro mengangkat ponsel di tangannya. "Mereka sudah hampir berhasil, sebentar lagi akan terjadi perang," ia menarik napas dalam.

"Sudah kuduga para bajingan itu sangat tidak sabaran, mereka terlalu haus kekuasaan," Ace menggelengkan kepala. "Mereka jadi besar kepala semenjak mengalahkan bangsa harimau,"

"Tapi beberapa dari mereka adalah orang berpengaruh, ini akan sulit, belum lagi sudah lama tidak ada satupun dari kita yang menginjak kota, tidak ada yang tahu pasti pergerakan musuh."

Zoro menatap api kecil yang menari lembut di atas cawan perunggu. Ia menutup mata. "Tentu saja ada,"

Ace dan Sabo bertatapan lama sebelum mengangguk setuju. "Ah, sudah lama sekali kita tidak bertukar pesan aku bahkan hampir melupakannya, pria tua itu kolot," Ace terkekeh. "Dia bahkan tidak menggunakan ponsel,"

"Dan dia agak susah diajak bekerjasama," Lanjut Sabo.

"Kita hanya perlu meyakinkannya untuk menjadi informan, jika dia setuju kita tinggal memikirkan langkah selanjutnya saja," Zoro berdiri, tersenyum.

"Baik," dan lilin ditiup mati.

𝓗𝓲𝓼 𝓒𝓻𝓸𝔀𝓷

Zoro menengadah, melihat langit yang masih berlukiskan putih. Pelan ia menyeret langkah di atas tebalnya salju. Kepalanya berdenyut. Segala hal yang berkaitan dengan perebutan kekuasaan membuatnya mual. Ia tidak menginginkan ini, tidak ingin konfrontasi, tidak ingin perang, tidak ingin lagi berkorban. Tapi semuanya bergantung padanya sekarang.

His CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang