VIII

383 81 1
                                    

Mobil Usopp sudah tampak di ujung aspal berselimut salju. Kaki Sanji terus bergerak, menunggu kedatangan sohibnya sementara pria di sampingnya menyimpan kedua tangan di belakang pinggang, ikut menatapi gerak kendaraan empat roda. Ketika mobil berhenti, Sanji berbalik. Sebuah senyum ia sunggingkan, tangannya terulur.

"Sampai ketemu lagi...?" ucapannya berakhir dengan tanda tanya canggung.

Zoro menarik tangannya dan memeluk si pirang, ketika ia memijak mundur, siraman matahari nampak menyelimuti seluruh tubuhnya, membuat pria itu bersinar emas bak dewa. "Kita akan bertemu lagi, kuharap begitu."

Kata-kata yang Zoro sampaikan mengandung janji. Janji manis yang terdengar singkat dan kuat. Pria itu akan menemukannya lagi. Suatu saat nanti, pasti.

Sanji menggeleng kecil dan bibirnya melengkung tulus. Ia berbalik, membuka pintu samping kemudi dan merunduk masuk. Kemudian jendela diturunkan oleh Usopp. Zoro melambaikan tangan untuk terakhir kalinya sebelum gas diinjak dan decit roda terdengar memekik.

𝓗𝓲𝓼 𝓒𝓻𝓸𝔀𝓷

Apartemennya tidak pernah terasa lebih dingin dari ini. Rasanya sudah lama sejak ia mendapatkan kehangatan dari balik bilik kabin sang pemilik surai hijau, mendengarkan cerita bagai sebuah dongeng pengantar tidur. Sekarang ia sendiri dalam apartemen tua dengan gagang berkarat, menatapi atap-atap membosankan dari atas balkon sempit berhiaskan monstera artifisial dan sirih gading yang bergelantung.

Lampunya yang menyala terlihat redup, bahkan berkali-kali berkedip seakan listrik sebentar lagi putus. Ia menghela napas, memperhatikan udara yang semakin turun drastis. Mungkinkah ini pengaruh ketidakseimbangan alam yang dikatakan Zoro?

Kembali ia masuk ke dalam ruangan, menutup rapat pintu balkon dan menarik gorden. Sekarang ia duduk di atas sofa, mengambil secarik kertas dan buku. Asal usul keluarganya pun tak pernah begitu jelas, ia tidak lagi mengingat mereka sejak didepak keluar rumah. Tidak ada yang pernah benar-benar menginginkannya.

Dulu ada, ia pikir ada. Hidup di jalanan sebagai gelandangan tidaklah mudah. Sekalinya ada yang menunjukkan belas kasih padanya, Sanji dengan mudah rapuh. Ia mengharapkan segala bentuk perhatian yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya dari mata-mata yang memandang. Teman-temannya lah yang membantunya berdiri sekarang, membantunya tidur di bawah nyaman atap apartemen reyot setelah sekian lama beratapkan bintang dan tenda lusuh.

Lampu sekali lagi berkedip. Ia menutup mata, berkonsentrasi penuh pada kastil yang pernah ia lewati dulu sekali. Tidak ada yang tahu pasti denah isi dalam istana, hanya mereka yang duduk di atas kursi berlapis emas yang mengerti betul. Dan mungkin orang-orang yang bekerja pada kerajaan.

Sanji kenal dekat satu orang yang pandai menggambarkan peta dan tengah bekerja dalam kastil megah di perbukitan itu.

Nami.

𝓗𝓲𝓼 𝓒𝓻𝓸𝔀𝓷

Pagi itu seperti biasa, Sanji melihat Nami bersiap untuk berangkat bekerja. Dalam balutan kain cokelat tua dan kemeja beige ia berjalan, helai marigold tersanggul rapi di belakang kepala. "Nami!" suaranya menahan langkah gadis muda itu.

"Sanji? Kau sudah kembali?"

Sebuah senyum yang tersungging di wajah cantiknya sempat membuat Sanji goyah. Namun ia menggelengkan kepala, kembali mengingat apa alasannya membutuhkan bantuan Nami. Untuk keberlanjutan hidup manusia dan seisi dunia. Untuk tanaman yang tumbuh di sela kaki mereka menginjak tanah, untuk pohon-pohon yang berbuah, untuk air, untuk udara, untuk segalanya.

"Aku ingin minta tolong," Sanji berkata. Tangannya menyerahkan gulungan A3 dan sebuah pena bertinta biru. Hanya itu yang dapat ia temukan. Ketika matanya bertemu milik Nami, jakunnya bergerak kasar. "...bisakah kau gambar denah istana untukku?"

His CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang