XI

401 74 0
                                    

Zoro terpaku ketika mendengar tembakan melesat di udara hening. Peluru itu masuk menembus tubuh Sanji tepat di depan matanya. Ia tatap asap yang membumbung dari balik sebuah jendela. Tembakan kedua mengenai Luffy tepat di perutnya. Lalu tembakan ketiga di Robin.

Tapi di antara yang terluka hanya Sanji yang tergeletak tak bernyawa. Mata birunya terbuka, menatap kosong selagi darah mengucur turun ke atas tanah beralas salju.

Pikirannya seketika kacau. Ini pernah terjadi padanya, hanya saja Zoro tidak punya waktu untuk melihat kekosongan mata Kuina kala itu. Karena gadisnya mati di tengah perang berlangsung. Sementara Sanji...

Raungannya terdengar menggelegar lagi seiring air mata yang jatuh. Semua rasa sesak di dadanya keluar bagai hujan lebat, bagai badai yang berputar. Langit yang semula oranye menjadi semakin pekat, bermuara bagai air mengalir dan berubah menjadi warna darah.

Petir menyambar berkali-kali dan Zoro menggeram. Tanpa berpikir panjang ia berlari masuk ke dalam istana.

𝓗𝓲𝓼 𝓒𝓻𝓸𝔀𝓷

Dalam istana yang berbalut serta berhiaskan emas dan perak itu berdiam seorang pria. Zoro berhenti berlari ketika sebagian cahaya menyinari wajahnya. Sebuah senyum miring tercetak di wajah pucat dan tajam. Garis keriput di wajahnya menandakan bahwa ia sudah melalui banyak hal, melihat semua hal buruk dan baik. Zoro tidak mengenalnya. Tidak mengetahuinya.

"Kau sia-siakan pelindungmu, ya? Padahal kau bisa menyentuhnya kapan saja, menjadikan dirimu raja," suara itu lekas berkata. Terdengar rendah dan serak.

"Raja—?"

"Si pirang itu," ia bangkit, bergerak menyeret kakinya menuju jendela. "Bukankah dia simbol perdamaian?"

Zoro tidak mengetahui pria itu. Tapi kenapa ia begitu mengerti tentangnya dan Sanji?

"Sekarang kawanmu tersiksa, rekanmu terpaksa bergelut dengan kematian karena keegoisanmu... Hanya karena kau tidak menginginkannya, semua ini salahmu, kematian mereka adalah salahmu."

Zoro bergeming. Suara dingin yang meracau tentang pilihan buruknya kini menggema dalam kepala.

"Kematian Kuina pun juga salahmu!" lalu teriakan berat itu menjadi akhir dari puncak emosi Zoro. Matanya memandang air yang jatuh mengucur di dua belah pipi.

"...siapa kau?" lemah, Zoro mendapati dirinya bertanya pada pria yang menangis tertahan.

Sebuah pedang panjang kemudian keluar dari sarung, ujungnya diletakkan tepat di bawah dagu Zoro. "Aku orang bodoh yang membiarkannya mencintaimu, akulah ayahnya."

Matanya melebar dan napasnya tertahan. Rasanya kini seluruh udara dari paru-parunya diangkat secara paksa keluar dari tubuh. Zoro tidak mampu bernapas. Ayah Kuina? Koushirou.

"Lalu apa yang ingin kau lakukan sekarang?" di tengah sesak itu ia kembali bertanya, berusaha menjadi logis walau kepalanya berkecamuk. Sungguh ia hanya ingin berlutut sekarang, membiarkan pedang dalam genggaman ayah Kuina membunuhnya saat itu juga. Karena setiap malam ia juga menyalahkan diri sendiri atas matinya Kuina.

"Aku ingin menusukkan ujung pedang ini di lehermu, aku ingin kau merasakan apa yang Kuina rasakan juga,"

Zoro membiarkan sebagian kulitnya tersayat. Matanya memejam dan bibirnya terbuka. "Apa ini yang dimau Kuina? Karena kalau memang ia menginginkanku mati, akan kulakukan apapun untuk mewujudkannya."

Ia bisa merasakan pedang itu kini bergetar. "Kau tahu apa tentang anakku?"

"Dia pernah sekali bercerita tentangmu. Dia bilang kau idolanya, yang menjadi cerminnya dalam bersikap layaknya ahli pedang," Zoro berkata. "Tahukah wajahnya saat berbicara tentangmu? Mata berbinar, bibir tersenyum, gadis paling indah yang pernah kulihat... dan ia tengah menceritakan ayahnya,"

His CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang