XII

682 74 14
                                    

Sanji tidak berkata apapun ketika Zoro menyodorkan sesendok bubur panas mengepul di depan wajahnya. Ia tidak membuka bibir serta tidak pula memutus kontak mata. Apa yang sebenarnya terjadi?

"Ah, masih terlalu panas kah?" Zoro menarik sendoknya dan meniup pelan-pelan. Sanji menatap, berkedip sebentar. "Ini, sudah lebih dingin, buka mulutmu."

Perintah itu meluncur keluar seakan sudah lumrah untuk menyuapinya dan merawatnya. Ini tidak seperti Sanji tidak bisa berjalan. Ia hanya tergores dan memar di beberapa sisi, sentuhan penyembuh Zoro saja sebenarnya cukup untuk membuat tubuhnya baikan.

"Sanji, buka mulutmu,"

Tidak punya pilihan lain, ia menyantap bubur walau dilanda malu. Wajahnya yang merona ia kesampingkan, memilih menelan sambil menatap dinding.

Zoro kemudian meletakkan mangkuknya di atas nakas. "Bantalmu bagaimana? Kurang nyaman? Terlalu empuk mungkin?" selagi menunggu asapnya mereda, Zoro menepuk-nepuk bantal bersarung hijau. Sanji menggeleng. "Kau mau sesuatu? Akan kubuatkan,"

"Ada apa denganmu?" kini ia memilih untuk terang-terangan mengutarakan rasa penasarannya. Zoro menatapnya lama, kembali mengambil mangkuk.

"Apa maksudmu?" Ia mengaduk bubur, mengambil sesuap lagi untuk Sanji yang membuka mulut secara sukarela. Sanji memilih tidak meneruskan pertanyaannya, bersandar pada bantal dan menatap kamar yang memerangkapnya selagi ia tidak bisa berpergian.

Kali ini ia harus berdiam dalam kastil yang sebelumnya didiami bangsa singa. Zoro berjanji akan segera membereskan kekacauan dalam istana itu; darah, penjara bawah tanah, alat yang membuat kupingnya berdengung kuat. Ini kali pertama ia lihat Zoro memasuki kamarnya setelah seharian penuh berjalan kesana kemari untuk mengurus istana.

Dilihatnya pemandangan di luar jendela. Tanaman kembali tumbuh walau cuaca masih terasa dingin menusuk. Tapi Sanji tidak pernah melihatnya sebelumnya. Seumur hidup, ia hanya bisa mengingat putih dan kelabu. Rasanya hampir tidak pernah sedikitpun ia melihat warna sesegar itu. Bahkan kampung halaman Zoro pun sama putihnya.

"Sanji, bagian mana yang masih luka?" Zoro bertanya. Si pirang kembali melihat Zoro, lalu berpaling untuk melihat gores di tubuhnya.

"Aku tidak terluka sebanyak dirimu," Ia tersenyum kecil. Tangannya menggapai lengan atas Zoro. "Makanya, biarkan aku menyembuhkanmu juga, ya?"

"Aku—"

"Zoroo! Kami butuh bantuanmu di sini!" Sahutan yang memanggil di tengah percakapan mereka berseru jauh di koridor. Kepala sang raja tertoleh ke pintu lalu kembali melihat Sanji, ragu untuk meninggalkannya. Namun tangannya kemudian terulur untuk mengusap sisi wajah Sanji lembut.

"Nanti aku akan kembali lagi, istirahatlah dengan tenang," ia menjatuhkan satu kecupan ringan di dahi si pirang sebelum berjalan keluar pintu kamar.

Istirahat?

Setelah kecupan itu?

Orang gila macam apa yang bisa tidur dengan tenang?!

Selimut yang terbentang di atas tubuhnya ia remas kuat, mata memandangi kaki. Sadar wajahnya memerah dan ia kembali tenggelam dalam pikiran tidak berguna, Sanji turun dari kasur. Ia menatap bubur yang masih tersisa di atas nakas, menariknya lalu memakannya cepat.

Kini ia mengedarkan pandang ke seluruh ruangan setelah mengisi perut. Mulanya ia tidak punya waktu untuk memperhatikan kamar yang ia tempati. Tapi sekarang Sanji yakin Zoro menempatkannya di kamar raja. Segala pernak pernik, tirai kasur berumbai lilitan kain emas, dua nakas kayu jati, karpet dan atap dengan motif senada, kandelir kristal, segala yang ia lihat seakan meneriakkan kata 'Raja' berulang kali. Sanji menghirup napas dalam, bergerak mendekati pintu dan membiarkannya terbuka sedikit.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 12, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

His CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang