IX

339 78 3
                                    

Di balik tudung yang membalut tubuhnya, Zoro melangkah. Ia sudah semakin dekat dengan kota. Setelah sekian lama berkelana di atas empat kaki, ia kini sudah bisa melihat pabrik-pabrik tua yang berada di pinggiran kota. Tangannya mencabut satu batang ranting kayu dari pohon, menggunakannya untuk mengaitkan sepatu yang basah. Kakinya yang tidak dilapisi apapun menginjak salju, merasakan dingin tapi juga tidak. Rasanya ia sudah mati rasa.

Cuaca semakin menusuk seperti yang dijelaskan dalam ramalan. Ia menghela napas, menatap gas yang mengawang-awang tipis. "Aku lelah!" suara gadis itu merajuk jauh di belakang. Zoro tetap melangkah.

"Sedikit lagi saja," ucapnya.

"Tapi kakiku rasanya sudah mati rasa! Aku tidak mau berjalan lagi! Aku mau naik kuda saja!" serunya. Ringkikan kuda yang ditarik dengan tali kekang terdengar. Mereka hanya membawa 4 kuda dan menggunakannya secara bergantian.

Zoro menengadah memperhatikan langit. "Baiklah, sampai sini dulu saja. Mari bersitirahat, aku akan mendirikan tenda."

Semua mengiyakan dan mulai berberes. Empat kuda diikat pada batang pohon lebar kuat-kuat sementara Perona duduk di atas salju basah dengan rok tebalnya. Di saat Zoro tengah membuka tenda, Ace menyentuh pundaknya. "Kalau kita berjalan lagi kita bisa segera sampai, tidak perlu bermalam," bisiknya.

"Perona kelelahan, dan para kuda juga butuh istirahat... Semalam saja tidak masalah," pasak di tangannya ia palu dalam. "Kau bisa bantu aku?"

Ace menghela napas sebelum berjongkok dan mulai memalu pasak lainnya. Zoro mengencangkan tali pada tenda, memastikan tenda hijau tua itu berdiri kokoh. Dua tangannya ditepukkan ke atas baju, membersihkan debu yang menempel. Lalu Zoro berbalik, duduk di dekat api unggun yang menyala hangat.

Kini ia menatap tiap wajah yang disinari muntahan cahaya kuning keemasan. Tidak banyak pasukan yang mereka bawa, mungkin sekitar 40 orang dengan perlengkapan seadanya. Zoro sudah memperhitungkan segalanya, meninggalkan harapan terakhir pada langit yang mendengar harapan dan impiannya.

Lalu ketika semuanya berhasil apa?

Sejujurnya Zoro tidak tahu. Apa ia akan memerintah? Apa dia bisa menjadi pemimpin yang baik? Yang bijaksana? Yang dicintai?

Langit malam itu bertaburan bintang dan di antara ribuan cahaya berkelip itu satu bergerak cepat melintas dengan ekor terang benderang. Zoro menutup mata. Harapan itu mungkin bisa terdengar, terkirim jauh ke atas sana.

𝓗𝓲𝓼 𝓒𝓻𝓸𝔀𝓷

Malam itu di bawah bayang tenda, Zoro terbayang Sanji. Pria berambut kuning yang selalu membuat kesehariannya terasa lebih hidup. Belakangan ini hidupnya kembali abu-abu. Tidak ada yang menarik dan tidak ada yang ia tunggu. Semua obrolan dan cerita yang keluar dari pria itu kadang menyebalkan, tapi selalu Zoro tunggu. Sejak kepergian Sanji, yang ada di kepalanya hanya perang, perang, dan perang. Dan ia benci berpikir tentang perang.

Ia butuh seseorang untuk mengalihkan pikirannya sekali lagi, bahkan jika untuk sesaat, ia membutuhkannya. Kepalanya terasa berdenyut dan jantungnya berdebar keras. Kehilangan Kuina masih pula menghantuinya bahkan setelah beberapa tahun berlalu.

Sanji dan Kuina begitu berbeda. Bagai matahari dan bulan. Pria pirang itu berbicara seakan tiada akhir dan mengutarakan segala yang terlintas di kepalanya. Di sisi lain, Kuina berbicara secukupnya, memberikan Zoro rasa nyaman dan tenang ketika ia merangkai kata. Sanji menyulut api dalam jiwanya sementara gadisnya menghembuskan bara lampu minyak untuk membantu tidur.

Mereka begitu berbeda tapi juga begitu sama. Keduanya memiliki ambisi kuat dan tidak ragu untuk menyampaikan isi hati.

Ah, ia ingin mendengar celotehan Sanji sekali lagi.

His CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang