VI

416 85 8
                                    

Tiga buah gelas berisi minuman penghangat perut disuguhkan di atas meja sementara Zoro tampak bersiap untuk keluar. "Minum dulu," Sanji menyodorkan gelas ke depan dada yang lebih lebar. Matanya memandangi Zoro, berkedip ketika melihat dua alis bertaut. Ia masih bertahan dalam posisi yang sama, kelihatan congkak mungkin, tapi siapa peduli.

Tangan Zoro yang meraih gelas lalu bersentuhan dengan kulit Sanji, menyebabkan aliran kejut listrik dengan cepat merambat di antara keduanya. "Ah!" Sanji menarik tangan dan mengayunkannya cepat. "Sialan! Apa barusan?"

"Astaga, minumanmu menyalurkan listrik," suara pria di depannya terdengar datar.

Sanji memicingkan mata. Ia menyentuh tangan Zoro sekali lagi untuk sekedar memastikan. Ada. Listrik itu menyengat, mengalir di darah keduanya. Mereka bertatapan untuk beberapa saat sebelum Johnny menyela masuk perbincangan antara keduanya. "Permisi, apa itu untukku?"

"Oh ya ya! Kau juga minum," Sanji mengambilkan gelas dari atas meja dan memberikannya pada Johnny. Ketika tangan mereka tidak sengaja bersentuh, Sanji mengantisipasi kedatangan itu kembali. Namun tidak ada apapun yang terjadi. Tidak ada sengat yang sama.

Baru saja ia mau bertanya, Zoro telah meninggalkan kabin. Jejak sol sepatunya membekas di atas salju abadi. Sanji menatap kepergian si hijau, bibir melengkung turun dan hati berusaha tidak bereaksi. Sebuah jarak dan dinding lebar masih terasa kentara di antara mereka. Walau begitu, malam yang sempat keduanya bagi bersama masih terekam jelas di kepala Sanji. Ketika tangan pria itu mengelus helainya, menghirup aromanya, mata memandang miliknya selagi kisah meluncur keluar dari bibirnya, segala yang ia lakukan masih menjadi rekaman yang berulang dalam kepala Sanji.

Kini Sanji ikut membuka pintu, kakinya menapak di atas salju, ikut menginjak langkah sepatu yang sedikit lebih lebar. Ia bisa merasakan Johnny melihatnya dari belakang, jadi ia putuskan untuk berputar dan tersenyum. "Apa ada yang menarik di sekitar sini?"

Johnny mengangguk pelan. Walau masih terluka dan langkahnya agak lambat, ia masih berusaha menunjukkan sebuah jalan pada Sanji. Mereka memasuki hutan, melewati jamur-jamur yang tumbuh di batang pohon, melewati dedaunan yang ditutupi es, melewati bunga-bunga berukuran kecil, berjalan turun, menanjak, berkelok, hingga tiba di depan hamparan berisi danau yang telah membeku.

Sanji menghembuskan napas kagum, terkesima. Ia berjalan, menatap dunia di depannya seakan waktu telah membeku bersamaan dengan udara. Seluruh permukaan danau tampak datar dan licin, tertutupi oleh es. Pelan namun pasti, Sanji menjejakkan kakinya dan berjongkok di atas lapisan air beku.

"Sudah berapa lama danau ini membeku?"

"Selama aku hidup mungkin, bahkan mungkin jauh sebelum ini, mungkin lebih lama dari yang dapat kau bayangkan," Johnny berkata. Terdengar suaranya menarik napas dalam. "Dengar... kau dan Tuan Zoro ada hubungan apa?"

Sanji menatap bingung. "Hubungan apa maksudmu? Aku hanya menumpang sementara di rumah Zoro, kau bisa bilang aku ini teman barunya," bibirnya tersenyum tipis, berusaha meyakinkan Johnny bahwa dia bukan orang yang perlu dicurigai.

"Dia melihatmu seperti—" kata yang ingin keluar dari bibirnya terhenti seakan tak mau melanjutkan. Dua alisnya berkerut, masih menatap Sanji. "Kau tahu dia masih mencintai masa lalunya, dan akan terus begitu selamanya. Saranku untukmu, jauhi dia selagi bisa, kau hanya akan berakhir patah hati dan dia akan berakhir sengsara."

Sanji terperangah. Tidak pernah terlintas di pikirannya hal seperti itu sebelumnya. Ia menyentuh dada, membayangkan wajah Zoro sejenak. Apa dia kelihatan seperti menyukai Zoro?

"Aku tidak menyukai—"

"Tidak perlu mengelak, aku hanya ingin memperingatkanmu, tolong jauhi—"

"Jauhi siapa?"

His CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang