Part 2. Cinta Di Giethroorn ( 2 )

141 27 22
                                    

*2.

( Tentang : mengapa ibu mertua/ calon ibu mertua jarang cocok dengan calon/ menantu perempuan )


"Masih gelap, Sayang?" Arini bertanya keheranan saat pukul enam pagi masih belum ada matahari. Arkha tersenyum, istrinya belum pernah ke daratan Eropa. Ini kali pertama. Tak heran bila keheranan. Waktu sholat subuh yang jauh beda dengan Jatim Indonesia tempat tinggal mereka.

"Belum waktunya sholat subuh, Honey. Tiduran saja lagi. Bahkan bisa sholat subuh setengah delapan pagi. Matahari bisa terbit jam setengah sembilan pagi." tanggap Arkha dengan senyum. Arini Hah dengan ekspresi lugunya. Arkha mengecek lembut rambut istrinya.

Kembali Arini menatap keluar jendela yang semalaman terbuka dan terbukti aman-aman saja. Tak ada suara adzan bersahutan di sini. Mereka menggunakan aplikasi untuk tahu jadwal sholat. Singapura tanah kelahiran Arkha hanya beda waktu satu jam. Jadi Arini tidak merasakan perbedaannya. Kalau sholat jumat bagaimana?

"Kamu ingin merasakan hangatnya sinar matahari pukul 19.00 AM?" Arkha bertanya dengan senyum. Dengan polos Arini mengangguk. Membiarkan Arkha mendekapnya hangat. Mereka masih di atas ranjang.

"Kalau begitu kita bisa mengunjungi kota Maastricht. Ada di ujung selatan Belanda. Tapi nunggu musim gugur ya."

Arini tertawa, musim gugur? Berarti harus ke sini lagi dong. Ini masih musim semi. Arini mendengarkan Arkha yang melanjutkan.

"Nanti dari atas jembatan Old Bridge, jembatan itu berusia ratusan tahun yang melintasi Meuse River. Kita bisa lihat Pemandangan memukau, Honey. Dengan bangunan pinggir sungai."

"Meuse River itu sungai?" tebak Arini. Arkha mengangguk dengan senyum. Saat alarm penanda waktu subuh berbunyi mereka beranjak mengambil air wudhu.

"Ya, Arini haid, Kak," sesal Arini saat mendapati dirinya sedang datang bulan. Arkha tersenyum. Mengecup ringan pipi istrinya dengan bisikan it's okay.

Ingatannya tiba-tiba terhempas saat dirinyalah yang tahu Arini mendapatkan haid pertamanya.

Saat itu Arkha menjemput Arini yang mengikuti ekskul Pramuka. Arini saat itu kelas 1 SMP. Masih terbayang jelas betapa pias wajah Arini saat keluar dari kamar mandi.

"Kenapa, Dek?" Saat itu Arkha bertanya panik. Apalagi mendapati tangan adiknya begitu dingin dengan wajah pias. Dan jawaban Arni membuatnya makin panik.

"A ...Arini berdarah, Kak.' Terbata-bata Arini menjawab. Dengan panik Arkha menjamahi tangan Arini, wajah Arini. Memindai tubuh Arini dengan tatap paniknya. Mana yang luka dan berdarah?

"Hah? Berdarah? Sebelah mana? Kamu jatuh, Dek? Mana yang sakit?" Dengan panik Arkha bertanya kebingungan. Pun Arini seperti kebingungan.

"Itu ... itu, Kak. Di celana dalam Arini ada .. ada darahnya." jawab Arini lirih sambil tertunduk. Ada rona merah di wajahnya. Arkha saat itu hampir terbahak tapi tidak jadi.

Sebagai orang yang gemar membaca Arkha tahu bahwa fisiologi tubuh perempuan berbeda dengan laki-laki. Dan ia tahu itu tanda apa.

"Kamu tunggu di sini, Dek. Kakak belikan celana dalam baru dan tampon ya," ucap Arkha lembut sambil melepas jaketnya karena melihat flek merah di rok seragam adiknya. Meminta adiknya melingkarkan jaket itu dengan cara mengikatkan kedua lengan jaket di pinggang.

"Kakak tidak malu?" Arini saat itu bertanya ragu. Arkha menggeleng dengan senyum. Mengelus lembut pucuk kepala adiknya yang berhijab coklat. Sebelum meninggalkannya. Dan seumur hidup Arkha baru kali pertama itu membeli dan menyentuh tampon. Dan seumur hidup itu adalah kali pertama Arkha membeli celana dalam wanita. Demi Arini ia tak peduli tatap aneh dan bisik-bisik geli pembeli lain mini market, dan kasir yang menggodanya.

ⓂⒺⓃⒹⒶⓀⒾ ⓀⒶⓀⒾ ⓁⒶⓃⒼⒾⓉ ②Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang