Part 11. Swarovski atau Berlian?

133 25 35
                                    

*11.

💥
💥

Indonesia,

Flashback sebelum menikah

💥

Arini Pradita Diningrum

💥

"Ngemil biskuit gandum saja, Eyang. Indeks glikemiknya rendah. " bujuk kak Arkha saat rayuan mautku tidak mempan membujuk eyang buyut agar tidak makan pisang pada pagi hari. Kak Arkha pernah menjelaskan bahwa indeks glikemik pada pisang matang cukup tinggi. Indeks glikemik adalah angka yang menunjukkan potensi peningkatan gula darah dari karbohidrat pada makanan yang kita konsumsi.

"Sederhananya adalah sebagai tingkatan atau ranking pangan, Dek. Di list menurut efeknya terhadap kadar glukosa dalam darah. Misal biskuit gandum , indeks glikemiknya < 55." jelas kak Arkha saat itu. Mengapa bisa di katakan rendah dan < dari 55?

"Karena tinggi pati resistennya. Pati resisten adalah jenis pati yang gak tercerna dalam saluran sistem pencernaan manusia.

Bahasa kerennya sebagai fraksi pati tidak dihirolisis oleh enzim yang dihasilkan pankreas selama 120 menit setelah kita konsumsi." Saat itu aku cuma oh panjang dengan penjelasan kak Arkha. Tidak mudeng saat kak Arkha membahas fraksi amilosa dan fraksi amilopektin dengan mbak Hanna. Dua dokter dalam keluarga kami yang tiap pagi mengecek kondisi tekanan darah, kadar gula, kolesterol dan asam urat kedua sesepuh kami. Meski lebih sering lewat Kinan yang di kolsulkan dengan mereka. Kinan sedang menjalani program profesi ners di fak. Ilmu keperawatan. Salah satu anak asuh om Pratama, ayah tiri kak Arkha.

"Boleh pisang kepok, Eyang. Yang belum terlalu matang. Karena ignya dikit 42- 51. Semakin matang semakin manis." Suara kak Arkha menyadarkanku dari lamunan tentang penjelasan kak Arkha tentang apa itu indeks glikemik.

" Mangan ae di atur-atur," omel eyang buyut. Yang intinya makan saja di atur-atur. Aku menghela napas panjang. Jongkok di depan kursi roda. Memasang senyum semanis mungkin. Aku elus-elus punggung tangan keriput beliau.

" Pandang Arini saja, Eyang. Arini kan manis," candaku dengan senyum. Eyang buyut masih menggerutu bahwa selama ini makan masakan hambar seperti rumah sakit. Asin tak boleh. Manis tak boleh.

Mendengar kata Arini manis kak Arkha tertawa.

"Kesiram gula merah, Eyang," canda mbak Widuri ART eyang. Membuat ger tawa meledak.

"Assalamualaikum," saat itulah terdengar suara salam yang khas, agak terbata dan sengau. Suara Ratna. Salah satu sahabat tuliku. Mereka lebih suka di sebut tuli karena tuna rungu itu istilah medis. Sedang tuli adalah identitas. Tuli juga menggambarkan ragam jenis keadaan seseorang. Bukan ketidakmampuan berbicara. Sedang tuna rungu secara terminologi beberapa kelompok disabilitas pendengaran dianggap sebagai keterbatasan fisik dalam mendengar sekaligus berbicara.

Ratna tuli berat sejak lahir. Ia hanya bisa mendengar suara di atas 100 desibel seperti suara halilintar dan pesawat yang di dekatnya. Desibel adalah satuan untuk mengukur intensitas suara. 1 desibel setara dengan 1/10 dB ( desibel) atau 0,1 dB.

Sedang telinga normal kita hanya rata-rata mendengar suara aman dengan intensitas 30-50 dB. Seperti suara orang yang bercakap-cakap biasa . Suara hujan sedang 50 dB. Untuk suara > 90 dB akan membuat telinga orang normal sakit. Jika didengarkan secara terus menerus.

Mengapa tuli cenderung sulit berbicara? Kak Arkha pernah menjelaskan karena di dalam telinga ada saluran eustachius yang berfungsi menghubungkan ruang di belakang gendang telinga ( telinga tengah ) dengan tenggorokan dan bagian belakang rongga hidung. atau rongga mulut dengan bagian telinga bagian tengah. Hingga saat terjadi kerusakan mulut juga terkena imbasnya. Saat itu lagi-lagi aku cuma bisa o panjang. Betapa tubuh manusia seperti mesin super canggih maha karya Alloh sang maha segala maha. Saling terhubung ternyata.

ⓂⒺⓃⒹⒶⓀⒾ ⓀⒶⓀⒾ ⓁⒶⓃⒼⒾⓉ ②Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang