Part 20. Terjebak Dalam Tragedi Mei ( 2 )

119 24 17
                                    

*20.

● Baca part 19 dulu karena tak bisa dibaca terpisah ●

( A. n.

🌱 Sebagian isi part ini fiksi meski seluruh historis dan settingnya real.

🌱 Mengandung unsur sensitif peristiwa kelam 13-14 Mei'98. Bijakkah dalam membaca dan menyikapi.

🌱 Tidak bermaksud meng-judge atau memihak apapun dan siapapun. Hanya sebagai reminder akan tragedi kemanusiaan. Agar kita tidak mudah terprovokasi pihak-pihak tak bertanggung jawab yang ingin memecah belah bangsa kita tercinta.

Semoga tulisan sederhana ini mampu menambah wawasan dan nasionalisme kita tanpa terkotak-kotak SARA.

Arini Pradita Diningrum

Indonesia,

Jakarta, 13 Mei 1998

Malam hari.

Dalam dekapan dan gendongan tante Aneeleis aku masih ketakutan dan kebingungan. Dalam gelap-gelapan aku mendengar suara-suara gaduh dan ribut-ribut. Yang paling aku ingat adalah bau bensin yang amat menyengat dan suara lemparan-lemparan. Mungkin batu. Suara kaca pecah. Sorak-sorai dan suara-suara penjarahan. Karena sangat jelas terdengar; ambil tivinya, ambil kulkasnya, ambil emasnya.

Saat kami sampai di halaman belakang dari lampu jalan aku bisa melihat siluet manusia-manusia yang berlarian kesana-kemari. Membawa barang-barang yang mereka ambil dari rumah om Tio. Kami di rampok? Kenapa tidak melawan? Ini mimpi atau nyata? Aku hanya melihatnya di tivi-tivi. Dalam film action.

"Ma .. Ma ...lewat sini," terdengar suara bisikan. Suara kak Viona. Aku melihat sosoknya tak begitu jelas sedang berdiri di anak tangga di sandarkan di pagar. Kemana saja dia seharian? Aku tak melihatnya. Dan sekarang tiba-tiba muncul dan berdiri di anak tangga.

"Mbak Astuti di balik pagar, Ma. Sini Arkha - Arini," bisiknya lagi. Menerima tubuhku. Aku di gendong kak Viona menaiki tangga. Aku sangat takut. Ada suara jeritan di mana-mana. Api dan asap yang membubung tinggi.  Menerangi langit yang gelap gulita menjadi terang benderang. Ada bau ban terbakar dan entah bau apa lagi. Yang jelas bukan bau sate cak Udin langganan kami.

Saat di puncak tangga aku melihat banyak siluet manusia yang menari-nari di antara kobaran api. Ada yang di seret-seret. Ada teriakan minta tolong dan ampun. Jerit kesakitan.

"Sini dedek Arini, Mbak." Dari balik pagar aku melihat sosok mbak Astuti. Tukang memasak tante Imelda. Ada di bawahku karena aku di atas pagar. Untung aku sering di ajak kak Arkha panjat pohon jadi aku tak takut ketinggian. Yang aku takut adalah suasana sekitarku.  Apakah ini yang di sebut tidak aman? Mengapa mereka membenci Cina? Apakah aku Cina? Jika iya. Aku ingin jadi Jawa saja. Biar gak diuber-uber.

Mbak Astuti meraih tubuhku. Digendong dan menuruni tangga. Aku merasa seperti tongkat estafet yang di pindah-pindah. Baru kak Arkha menyusul dengan cara yang sama.

Jadi ada dua tangga yang di sadarkan pagar. Satu di dalam. Satu di luar. Tangga itu dari bambu.

Saat di turunkan aku masih kebingungan. Perutku mual karena mencium bau-bauan tidak karuan. Dan tenggorokanku gatal karena banyaknya bau asap.

ⓂⒺⓃⒹⒶⓀⒾ ⓀⒶⓀⒾ ⓁⒶⓃⒼⒾⓉ ②Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang