Gambar di sebelah: Jennifer
Debaran Delapan
Fake Smile
Devon terbengong melihat Nero nongol begitu saja di depan pintu rumahnya. Anak muda itu mengenakan seragam dengan dasi yang dilonggarkan dan baju dikeluarkan. Kedua lengan seragam kemejanya digulung sampai siku dan salah satu tangannya terkepal ke atas, hendak mengetuk pintu yang baru saja dibuka Devon.
"'Sup," Nero mengubah kepalanya menjadi lambaian ceria.
Devon menunggu jeda. "What the hell are you doing here?"
Nero nyengir lebar, tapi tidak menjawab dan malah bertanya, "What time is it?"
"Hell if I know!" Devon menggerutu, melangkah keluar rumah dan mereka bersama-sama menuju sekolah. "How do you know where I live?"
"I asked President," jawabnya santai.
Devon mengangguk kecil. "Oh, I see—wait—President? You mean, Vion?"
"Yeah."
"The Pretty Boy?" Devon terkejut.
Nero menaikan alisnya dan menjawab sambil terbahak. "Yeah. Him. What's with that sudden shock?"
Devon geleng-geleng kepala. "Nothing. How do you know him?"
"Let see...we have a little chit chat," Nero menjawab. "He's not that bad."
"Yeah. Try me. I hate him."
"I like him."
Devon menaikan alisnya dan menatap wajah tenang tanpa ekspresi milik Nero.
Kemarin, Devon masih menduga-duga apakah dia benar-benar berbicara dengan Nero dan ragu apakah Nero akan mengenalinya lagi. Sebenarnya, selama beberapa hari sejak Nero memasuki sekolah mereka, ada banyak rumor beredar mengenai betapa menyenangkannya anak muda yang ada di sampingnya saat ini, dan Devon muak dengan rumor itu. Apalagi rumor itu beredar ganas seakan-akan dia pujaan setiap penghuni sekolah.
Siang itu Devon hanya kebetulan melihat Nero, yang melintasi rumput hijau menuju Bukit Hijau dan Pohon Hantu, dari balik jendela koridor sekolah. Dia memang tidak pernah melihat Nero dari dekat dan hanya melihat pemuda itu bersama kerumunan fansnya yang selalu mengekor di belakang. Tapi, entah mengapa, ada atau tidak adanya fans, aura Nero memang lain sendiri.
Begitu Nero berjalan sendirian, dengan tangan di atas kepala dan wajahnya mengadah ke langit, Devon tahu kenapa para penghuni sekolah mengagumi Nero. That guy is really eye-catching and charismatic. Tanggapan itu muncul begitu saja dalam pikiran Devon. Sambil memakan rotinya, Devon sesekali melihat Bukit Hijau dan semakin penasaran begitu mengetahui bahwa anak muda itu tidak bergerak di tempat dan akhirnya memutuskan untuk mendatanginya.
Setelah mengenal Nero—well, bagaimana mengatakannya, ya—rumor itu memang benar. Nero cukup menyenangkan dan menghibur sekali.
Hanya saja, Devon merasa, ada sesuatu dalam setiap tawa itu. Devon tak ingin menduga-duga karena dia belum mengenal Nero dengan baik. Mungkin saja Nero sering tertawa santai seperti itu—menertawakan orang lebih tepatnya. Tapi tak bisa dipungkiri, kadang-kadang Devon merasa ada nada dalam tawa Devon yang—entahlah—tidak pas.
"Nero?"
"Hmm?"
"I hate it."
"Hate what?"
"I don't know. Maybe those fake smiles of yours."
Nero mengerjap kebingungan. Mereka saling tatap beberapa detik sampai kemudian Nero terbahak lagi, terpingkal-pingkal geli memegangi perutnya. Devon menaikan alis, terheran dengan reaksi yang diberikan Nero.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Flower Boy Next Door
RomanceCopyright to SaiRein, 2013 Dilarang mengopy, menjual, atau mengubah, sebagian atau seluruh isi dari cerita ini tanpa seizin Penulis. Jika para Pembaca menemukan hal yang sama, maka telah terjadi campur tangan pihak ketiga tanpa sepengetahuan Penulis...