Gambar di sebelah: Monic, si Penjaga Kesehatan Sekolah
Debaran Dua Puluh Tiga
Galau
Aku sedang menyisir rambutku begitu Abangku, Ray, memunculkan kepalanya dari balik pintu dan tersenyum manis. Aku tak tersenyum, aku balas memelototinya.
"Apa?" kataku tak senang melihat senyumannya.
"Pacarmu datang," katanya.
"Hah?" kataku.
"Aku bilang pacarmu datang," ulangnya sabar.
Pacarku? Siapa? "Aku nggak punya pacar, Abang," kataku dan kembali menyisir rambutku, melihat cermin yang memunculkan wajahku.
"Pacarmu, Nero, anak tetangga sebelah yang luar biasa kaya dan juga tampan itu, datang dan sudah menunggu di depan pintu gerbang seperti anjing penjaga setia."
Tulang leherku berderik begitu melihat Abangku lagi. Terlalu cepat sampai aku bisa merasakan nyeri di leherku.
"Apa?" kataku. "Nero di sini?"
"Yep," dia mengangguk.
Aku mengerjap beberapa kali, kemudian segera melempar sisir, mengambil tasku dan berlari menuju pintu setelah menyingkirkan Abangku dari sana. Aku tak memedulikan gerutuannya yang mengatakan, "Niken! Tega benar!" padaku. Dengan kecepatan luar biasa, aku menuruni tangga spiralku. Bahkan aku tak mau repot-repot pamit pada orang tuaku begitu sampai di depan pintu dan mendapati Nero ada di luar sana, bermain dengan anjing kecil putihku.
"Selamat pagi, Niken," sapanya sambil tersenyum.
"Uh, apa yang kau lakukan di sini?" kataku keheranan.
"Menjemputmu ke sekolah," jawabnya, kemudian melirik jamnya. "Sudah saatnya membuka gerbang sekolah kan?"
Kebingunganku menjadi-jadi, tapi aku memilih untuk mengangguk. Dia bangkit perlahan, mengikutiku keluar dari gerbang. Kami berdua menuju sekolah dengan kecanggungan yang sangat kental. Tiap kali aku berusah membuka pembicaraan, masalahnya, suaraku malah tak keluar.
Aku ingin menanyakan apa yang kemarin ingin dia katakan padaku. Tapi aku tak berani. Uh, sial. Kemana sih perginya rasa beraniku dulu yang sering kuagung-agungkan? Kenapa sekarang aku malah lemah banget menghadapi Nero seperti ini? Apa sih yang dia lakukan sampai memberikan pengaruh yang begitu besar dalam hidupku? Padahal, jika dipikir-pikir, anak muda ini cuma tahu bagaimana membuat hidupku susah. Tidak lebih.
"Biasanya kalau sekolah kita camping gabungan, apa aja acara yang dilakukan, Niken?" Nero tiba-tiba membuka pembicaraan.
"Camping, api unggun, cari harta dan jerit malam," kataku
Di sebelahku, Nero manggut-manggut. "Sepertinya seru. Mudah-mudahan kita bisa sekelompok ya. Pasti seru juga tuh. Haha."
Kami berdua mengobrol lagi. Berdua, beriringan dengan Nero, seakan memenuhi ruangan di sebelahku yang terasa hangat dan juga menenangkan. Nero banyak bercerita tentang teman-temannya di luar negeri sana, dan aku menduga—sama seperti di sini—Nero adalah anak yang suka bersosialisasi. Melihat Nero bercerita banyak tentang kehidupannya dulu membuatku senang karena seolah-olah, aku mengenalnya sudah begitu lama.
Begitu kami tiba di depan gerbang sekolah, sekolah masih sunyi. Kami kembali bercakap-cakap lagi, membahas banyak hal, dan aku tertawa mendengar leluconnya. Nero anak yang menyenangkan dan lucu dengan caranya sendiri. Aku bahkan tak menyadari bahwa sedikit demi sedikit, para siswa sudah mulai berdatangan dan aku tak lagi memperhatikan apa yang terjadi sampai kemudian Devon berlari menghampiri kami dengan wajah yang berbinar bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Flower Boy Next Door
RomanceCopyright to SaiRein, 2013 Dilarang mengopy, menjual, atau mengubah, sebagian atau seluruh isi dari cerita ini tanpa seizin Penulis. Jika para Pembaca menemukan hal yang sama, maka telah terjadi campur tangan pihak ketiga tanpa sepengetahuan Penulis...