Debaran Satu : Tetangga Konglomerat

439K 9.2K 390
  • Didedikasikan kepada Seluruh Pembaca
                                    

Debaran Satu

Tetangga Konglomerat

Aku mengintip dari balkon kamarku begitu mendengar suara-suara berisik dari tetangga sebelah. Beberapa mobil besar tampak berdatangan memasuki gerbang besar dengan rumah bergaya Victoria. Mobil-mobil besar perusahaan jasa pemindahan barang tersebut terparkir nyaman. Lalu, berduyun-duyun, para pekerja berotot, yang berseragam, keluar dari mobil.

Seakan mereka pasukan elit militer terlatih, para pekerja itu kemudian membawa keluar barang-barang dari dalam mobil dan memasukannya ke dalam rumah cantik berwarna krem itu.

Rupanya ada tetangga baru.

Dengan penuh ketertarikan, aku mengamati para pekerja yang tampak sibu\k sekali. Pertama-tama karena rumah tetangga sebelah yang ada di sebelah kananku, dan di depan balkon kamarku, sudah lama kosong dan nyaris dua tahun tidak dihuni siapapun.

Kedua, karena rumah itu besar sekali dan tampak mewah dengan lampu-lampu Kristal mengilap, taman depannya yang seluas lapangan sepak bola sehingga mampu menampung tujuh truk pengangkut barang ke dalamnya, kolam ikan yang sejenih kristal, air mancur besar cantik dengan patung perawan pemegang kendi sebagai penghiasnya, dan kolam renangnya yang tampak eksotis dengan lekukan-lekukan yang futuristik.

Ketiga, tidak jauh berbeda dari yang kedua, karena para pekerja itu membawa masuk barang-barang mewah yang hanya mampu dibeli oleh orang-orang borjuis kelebihan duit, yang tidak segan-segan mengeluarkan uang hanya untuk sebuah keramik. Buktinya, baru lima menit aku menonton dari atas sini, dan para pekerja itu sudah mengeluarkan sofa-sofa klasik, kursi-kursi kayu jati mengilap dengan sandaran empuk, berpuluh-puluh lukisan indah, keramik-keramik pajangan mahal yang jika jatuh justru tak berguna dan tak berarti selain membuat pemiliknya menangis meraung-raung, guci-guci berbagai bentuk, sebuah jam dentang besar yang tak sengaja berdentang laksana Big Ben London, sebuah lemari besar mengilap yang dibawa lima orang sekaligus dengan susah payah, beberapa buat TV gantung tipis ekstra besar lengkap dengan peralatan pelengkapnya dan sebuah grand piano putih sehalus porselain.

Keempat, dan yang paling membuatku penasaran, aku ingin tahu siapa konglomerat yang saat ini menjadi tetanggaku. Melihat kemewahan dan mahalnya barang-barang yang dimasukan ke dalam rumah itu, aku yakin orang yang saat ini menjadi tetanggaku, bukanlah anggota DPR.

Tidak. Dia lebih kaya dari itu.

Mataku memerhatikan sekali lagi. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukan bahwa pemilik rumah Victoria itu ada di tempat. Orang-orang yang sibuk hilir-mudik di bawah sana hanya para pekerja.

Namun, begitu lirikanku berubah ke kiri, aku melihat ada sebuah mobil mewah berwarna putih persis seperti piano tadi, meluncur pelan, mendekat ke arah rumah Victoria itu.

Aku langsung bergairah begitu mobil itu memasuki pekarangan rumah dan berhenti di sudut gerbang.

Itu pasti si Konglomerat! Aku sudah tak sabar mengetahui seperti apa tampangnya.

Pintu mobil terbuka. Seorang lekaki setengah baya turun dari mobil. Dan karena dia memutar untuk membuka pintu mobil di sebelahnya, bisa kupastikan bahwa orang itu pastilah supir.

Kepala sang supir menunduk penuh hormat saat seorang wanita cantik mengenakan terusan anggun sederhana, turun dari mobil. Wajahnya mengadah ke langit sehingga aku bisa melihat kecantikannya yang luar biasa.

Namun aku sedikit kecewa. Ternyata konglomeratnya seorang wanita.

Karena rasa penasaranku sudah terpenuhi, aku membalikan badan dan mengambil majalan yang tergeletak nyaman di atas meja kecil dari kamarku dan membolak-baliknya. Tadi aku sempat membaca artikel yang membuatku penasaran. Jika bukan karena gangguan kecil tadi, aku tentunya sudah selesai membaca artikel itu.

"Abang!"

Tanganku berhenti membolak-balik dan telingaku menangkap suara anak kecil yang terasa asing di telingaku. Mungkinkah wanita itu memiliki anak?

Well, itu bukan urusanku. Lagipula, wajar saja jika wanita itu memiliki seorang anak kecil.

"Abang! Lagi, Bang! Putar-putar!"

Dan anak perempuan itu pun tertawa ceria. Suaranya pun diselingi dengan suara-suara lain yang tertawa bersama anak itu.

Sekali lagi, rasa penasaranku muncul. Aku ingin melihat anak perempuan yang tertawa itu. Maka aku pun berbalik menuju balkon setelah melemparkan kembali majalahku dan menonton.

Anak perempuan mungil itu digendong oleh seorang laki-laki berbaju biru yang berputar-putar pelan sambil sesekali mencium pipinya yang tembem dan putih. Tawa anak perempuan itu pun meledak setiap kali dia mendapat ciuman.

"Lagi, Bang! Lagi!" kata anak perempuan itu saat dia diturunkan dari gendongan. Tangan kecilnya mengadah ke atas.

"Abang capek loh, Ageha."

"Lagi, Bang, lagi! Bang Nero, lagi!"

Cowok itu pun mengadah ke langit, mungkin maksudnya untuk menghela napas, dan aku terkesikap melihat ketampanan wajahnya.

Bahkan dari jarak sejauh ini, aku bisa melihat auranya yang menarik perhatian, sehingga aku bisa merasakan jantungku yang berdegup kencang tanpa diperintah, berbunyi deg-deg-deg yang memekakan telinga.

Wanita anggun yang turun dari mobil tadi mendekat, mengatakan sesuatu, lalu dengan kompak mereka masuk ke dalam rumah, meninggalkan jejak berupa butir-butir sinar keemasan keberadaan mereka yang rupawan.

***The Flower Boy Next Door***

The Flower Boy Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang