Gambar di sebelah: Audrey - Mikako Zhang Kaijie
Debaran Dua Puluh Dua
Blind Date
Aku memerhatikan penampilanku di depan cermin. Hari ini aku mengenakan pakaian nyaman yang tampil santai: kaos putih yang dihiasi dengan renda-renda di bagian leher, berwarna pink pucat, dipadukan dengan rompi merah manis, ditambah dengan celana jeans biru panjang dan sepatu boot pendek. Yeah, aku tak tampak seperti kencan dengan Nero kan?
Kencan...
Kedua tanganku memegang kedua pipiku yang panas dan merah padam setiap kali mengulang kata itu. Apa sih yang kupikirkan? Aku tak merasakan hal seperti ini pada kencan dengan Kak Vion sebelumnya. Aku kan sudah pernah kencan. Tapi kenapa rasanya seperti kencan pertama kali, ya?
DIN DIN DIN
"Niiiiiiken!"
Suara Nero terdengar dari luar, di dekat pintu rumahku. Buru-buru kuambil tas kecilku dan melesat keluar dari kamar. Begitu berjalan melewati tangga, jantungku berdetak tak karuan. Aku mulai gugup dan senang, bertanya-tanya apakah Nero akan menyukai penampilanku atau tidak.
Menguatirkan. Kenapa aku malah memikirkan apa pendapat Nero soal penampilanku? Akhir-akhir ini perasaanku sering tak menentu jika di samping Nero.
Saat aku melangkah menuju pintu gerbang, jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Kemudian, aku berhenti melangkah, terpesona dengan penampilan Nero.
Nero mengenakan kaos biru berlengan panjang—yang bisa kupastikan untuk menutupi lengannya yang diperban—dengan rompi bergaya yang membalut tubuhnya yang ramping. Celana jeansnya memiliki robekan dengan model yang baru kali ini kulihat dan ada rantai menggantung di pinggangnya. Yang membuat pemandangan ini semakin sempurna, dia tengah tersenyum padaku di atas motor besar metalik.
Nero keren sekali!
"Kau cantik sekali, Niken," kata Nero.
Aku yakin wajahku kembali memerah, sementara aku menjawab, "Hmph! Aku tahu aku memang cantik!" Loh? Kenapa justru kalimat itu yang keluar? Aku ingin menimpuk kepalaku sendiri.
"Huahahaha," Nero terbahak. "Naik, Niken."
Untunglah Nero tidak membesar-besarkan perkataanku. Tapi, tunggu dulu, bukankah aku memang selalu bersikap seperti itu padanya? Begitu aku naik, Nero mengambil tanganku, melingkarkannya ke pinggangnya.
"Hei!" aku protes. Jantungku kembali berdegup-degup lagi karena bisa merasakan otot-otot perutnya dari balik pakaiannya.
"Pegangan yang erat, Niken. Aku suka ngebut loh."
"Kau cuma mencari kesempatan kan?"
Lagi-lagi, Nero tertawa. "Benar sekali. Kapan lagi kau mesra denganku?"
"Menyebalkan!"
"Aku tahu. Tanganmu?"
Tak bisa berkata apa-apa, aku memeluknya dari belakang. Nero menghidupkan mesin motornya dan mesin motor menderu, berjalan perlahan-lahan meninggalkan rumahku menuju lokasi tempat kami kencan—ralat: tempat dia dan ceweknya kencan.
Lalu aku menyadari satu hal. Bukankah itu artinya aku justru jadi nyamuk di antara mereka berdua? Waduh, kenapa baru terpikir sekarang?
CKIIIIIIIIIIIIIIIIIIT
Saat menyadari itu, aku dikejutkan oleh rem mendadak yang dilakukan Nero. Aku terpekik kaget, mendekap Nero semakin erat dan dengan ngeri melihat pemandangan di depan kami. Nero membawa motornya menyelip di antara dua mobil. Aku menahan napas melihat motor Nero menambah kecepatan dan meninggalkan kedua mobil itu beserta dengan makian-makiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Flower Boy Next Door
RomanceCopyright to SaiRein, 2013 Dilarang mengopy, menjual, atau mengubah, sebagian atau seluruh isi dari cerita ini tanpa seizin Penulis. Jika para Pembaca menemukan hal yang sama, maka telah terjadi campur tangan pihak ketiga tanpa sepengetahuan Penulis...