Debaran Lima Belas: Surat Berdarah

94.4K 3.8K 78
                                    

Maafkan penulis yang baru bisa update sekarang.. Jaringan anti-lelet sedang lelet banget--hmph!
jangan lupa vote ya

Gambar di sebelah: Deborah - Beauty, isn't she?

=============================================================>

Thank you for your patiance, hug and kiss
=========================================================


Debaran Lima Belas

Surat Berdarah

Semua orang begitu terpukau pada Devon yang membawa bola dan detik-detik terakhir saat Devon memasukan bola. Tapi mataku sejak pertandingan dimulai sama sekali tak lepas dari Nero. Benar, Nero. Mungkin ini cuma perasaanku saja, tapi sejak dia menjadi pemain di tim bola, Nero tampak pucat sekali. Memang sih, biasanya juga dia pucat. Tapi ini lebih pucat lagi.

Dan semakin lama bermain, wajahnya justru semakin pucat. Aku tak tahu apakah Devon yang bermain dengannya di lapangan menyadari hal ini atau tidak. Tapi aku sendiri terheran bagaimana aku bisa melihat wajah Nero dengan jelas bahkan dari jarak sejauh ini. Padahal mataku tidak terbuat dari teleskop dan kacamataku belum juga diganti.

Lalu terjadilah yang sudah kuperkirakan. Aku melihat Nero jatuh begitu saja di lapangan tepat saat Devon menendang bolanya ke gawang. Bram, yang ada di dekatnya, segera berlari ke arahnya dan melihat kondisinya.

Apakah kali ini bercanda?

Dan terakhir, terjadilah kemarahan di lapangan yang menyuruh Nero untuk bangun. Tapi aku merasa bahwa Nero tidak sedang bercanda.

"Aaaah, sudah kuduga!" salah seorang anak lelaki yang menonton segera melompat dari tempatnya dan berlari ke lapangan. Dia kemudian segera membawa Nero yang tetap tak sadarkan diri ke UKS. Tanpa banyak tanya lagi, aku bangkit dan segera ke UKS juga. Devon juga mengekor di belakang. Sama sepertiku, dia juga tampak cemas.

"Dehidrasi," kata Bu Moni setelah memeriksa keadaan Nero. "Dari catatan kesehatannya tertulis bahwa Nero tak bisa lama-lama di bawah sinar matahari."

Kami bertiga mengangguk dalam diam dan sekali lagi melihat wajah pucat Nero yang tertidur di brankar UKS.

"Dia tak apa-apa. Cukup dikompres dengan handuk dingin. Saat dia sadar, dia hanya butuh minum cairan yang mengandung elektrolit."

Kami mengangguk lagi. Bu Moni meletakan handuk ke dahi Nero, kemudian meletakan kantong es ke atas handuk itu. "Baiklah, Ibu tinggal dulu. Kalian juga sudah bisa kembali ke kelas."

"Aku akan menjaganya," kata Devon. "Niken dan kau—" Devon mendelik jengkel pada cowok yang memperkenalkan diri sebagai Zoe pada kami, "—sudah bisa kembali."

Zoe menaikan alis. "Ok. Jaga dia." Setelah itu dia keluar.

"Aku tetap di sini." Aku masih khawatir pada Nero.

"Niken, tak ada gunanya kau di sini," kata Devon.

"Yang tak berguna itu kau. Harusnya kau ada di lapangan kan? Aku cuma jadi penonton, jadi lebih baik aku yang menjaganya," kataku pelan dan menarik bangku di dekat Devon.

Devon memutar bola matanya. "Aku tak akan bisa bermain jika Nero belum sadar."

Niken menaikan alisnya. "Kau perhatian sekali pada Nero ya?"

"Aku suka padanya."

Hah? Aku menganga. "Apa katamu?" kataku tergagap.

"Aku bilang aku suka padanya," Devon mengulang sambil memutar bola matanya.

The Flower Boy Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang