Hay, hay!
Muahahahah, sekarang Pembaca tampak galau! Ok, ok, Penulis sarankan untuk membawa saputangan atau tissue siapa tahu butuh. Dan untuk beberapa kesempatan, hindarilah ruang publik, karena Pembaca akan ketahuan senyam-senyum sendiri seperti orang gila. Penulis tak ingin para Pembaca sekalian diperiksakan ke Psikiater terdekat. Ingat, virus senyam-senyum sendiri sedang menular. Hindarilah selagi sempat. Waspadalah, waspadalah!
Hehehehe. Jangan lupa vote dan komennya ya. Kiss + Hug!
Salam,
Penulis.
=======================================================Debaran Dua Puluh Empat
I to U
Berulang kali aku mondar-mandir di depan jendela kamarku. Kini aktivitas itu sudah menjadi kegiatan rutin bagiku. Dulu, aku tak mengerti kenapa aku melakukannya dan sekarang, aku sadar bahwa aku melakukan ini untuk melihat Nero yang ada di seberang jendela kamarku. Hanya melihat Nero saja, tanpa perlu berbicara dengannya, rasanya sudah membuatku bahagia dan menghapus segala kerinduan yang menumpuk di dadaku.
Masalahnya, sudah dua hari ini Nero menutup jendela kamarnya dan tidak sekalipun dia berniat membukanya. Sejak kejadian ciuman waktu itu, Nero benar-benar cuek padaku. Dia tidak melihatku, melewatiku begitu saja seakan aku makhluk tak terlihat di depan gerbang sekolah tanpa perlu repot-repot mengucapkan "Selamat Pagi"—hal yang biasa dia lakukan setiap paginya padaku. Bahkan dengan sengaja memalingkan wajah begitu kami bertatapan. Tanpa rasa bersalah dia mengajak orang lain mengobrol saat aku hendak berbicara padanya dan dia selalu punya alasan masuk akal tiap kali aku meminta waktunya untuk bicara empat mata. Parahnya lagi, seluruh pesan dan teleponku ditolak dan tak dibalasnya.
Ini lebih buruk dari dugaanku.
Ms. Genius: Nero, kau ada dimana?
Aku mengirim pesan. Kugenggam ponselku erat-erat sementara aku berpaling melihat jendela kamarku. Dia sama sekali tak berniat membalas pesanku lagi. Karena itu aku mencoba sekali lagi.
Ms. Genius: Nero, aku ingin bicara.
Sepuluh menit kemudian, aku mengirim pesan lain.
Ms. Genius: Jangan cuekin aku.
Well, terdengar menyedihkan. Tapi memang seperti itulah keadaanku sekarang. Putus asa, aku mencoba menghubungi Nero karena lagi-lagi, aku tak mendapatkan jawaban. Satu bunyi "tut" berhasil menandakan bahwa nomor yang kutuju berhasil kuhubungi, dan detik berikutnya, aku tahu bahwa Nero ada di kamarnya karena ringtone ponselnya bernyanyi berisik.
"... but I set fire to the rain, watched it pour—"
Tut tut tut
Nero menolak panggilanku, membuat mulutku terbuka lebar.
Ini benar-benar sudah keterlaluan! Berani benar dia melakukan ini padaku! Nyaris menghancurkan ponselku yang dalam genggaman, aku memencet tombol dengan ganas, mengirim pesan yang lain.
Ms. Genius: BRENGSEK! KAU ADA DI KAMAR KAN? BUKA JENDELANYA!
Aku melotot marah ke jendela kamarnya. Tapi jendela itu tetap bergeming. Rahangku mengerang jengkel saat mengirim pesan yang lain lagi.
Ms. Genius: KALAU KAU TAK MEMBUKA JENDELA KAMARMU, AKU AKAN MEMECAHKANNYA!
Dua detik kemudian, gorden jendela Nero terbuka. Ancamanku membuahkan hasil. Nero ada di balik jendelanya sana. Dia berdiri di belakang jendelanya yang tertutup rapat, mengenakan kaos berwarna hijau cerah dengan motif garis-garis. Dia balas memelototiku, tangan memegang ponsel dengan geram.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Flower Boy Next Door
Storie d'amoreCopyright to SaiRein, 2013 Dilarang mengopy, menjual, atau mengubah, sebagian atau seluruh isi dari cerita ini tanpa seizin Penulis. Jika para Pembaca menemukan hal yang sama, maka telah terjadi campur tangan pihak ketiga tanpa sepengetahuan Penulis...