Dunia sesungguhnya sangat berat, aku akhirnya mengerti kenapa banyak orang yang berpikir bahwa masa-masa sekolah adalah yang terbaik, aku mengerti perasaan mereka karena kini aku juga merasa begitu. Tidak bisa terus bergantung pada orang tua, semisalnya untuk makan diri sendiri aku harus mencari uang.
Kebetulan aku memiliki banyak koneksi, meski luntang-lantung tidak jelas aku tidak pandai berbaur dengan masyarakat apalagi bekerja di kantor dan sebagainya lebih ingin bekerja dibalik layar seperti memanggang kue, membantu penginapan dan sekarang adalah membantu memasak daging ayam tepung dan gorengan ringan di stan milik teman ayahku, pasar Matsuri.
Aku hanya bagian menggorengnya saja adakalanya aku membuat adonan, paman Guro melayani pembeli untuk memiliki keahlian seperti itu pasti butuh ekstra latihan dan sering bersosialisasi. Tangannya yang lihai memasukan pesanan ke kantong kertas lalu di bungkus oleh plastik dengan cepat tanpa keliru, dia sudah terbiasa.
Ketika tengah asik melumuri daging dengan tepung roti lalu dicelup ke telur kocok dan lagi aku baluri dengan tepung dan seterusnya, mudah sekali hingga aku terlena melakukan— bisa seharian penuh aku melakukannya.
Ada seseorang yang kukenal dia memesan gorengan.
"Tolong beli masing-masing satu." Ujarnya sembari mengangkat telunjuk.
"Baik, tolong tunggu." Tutur paman Guro.
Dia fokus melihat ke ponsel canggihnya, aku juga tidak ingin menganggu dengan memanggil namanya. Bukannya enggan bertemu, tapi dari sebagian hatiku berkata untuk tidak terlihat olehnya jadi aku repot-repot bersembunyi memalingkan wajah. Tapi kenapa dia sadar?
"Zen?" Tanya dia.
"Oh, apa kamu kenal dia?" Sambung Guro melirik padaku. "Zen, sepertinya gadis ini kenal denganmu. Istirahatlah sebentar." Aku akui paman Guro sangat baik sekali, dia menyuruhku untuk membuka celemek.
"Wah, tidak kusangka bisa bertemu denganmu di pasar ramai ini." Sambungku, menerima tawaran Guro. "Apa kabarmu, Moona?" Tanyaku, mengelap tanganku ke baju lalu kujurulkan ke hadapannya.
Moona menerima tanganku, kita berjabat tangan. "Baik, sangat baik, bagaimana denganmu?" Melempar balik pertanyaanku seraya melepas tangan perlahan.
"Seperti yang kau lihat." Aku menaikan bahuku dan memandang tubuhku. "Aku sehat-sehat saja."
Menarik nafas panjang lalu dihembuskan. "Yah, syukurlah." Moona berusaha untuk tetap tenang dan masih ingin mengajak bicara, aku masih punya waktu pekerjaan dan sepertinya dia paham apa yang jadi pikiranku. "Zen, k-kita bisa bicara lagi, kalau boleh tahu aku ingin meminta nomor ponselmu."
Kukeluarkan ponsel dan memberinya sesuai dengan permintaan, selintas bibirnya menarik pipi atas tersenyum sedikit dan dia mengucapkan "sampai ketemu lagi" kemudian beranjak pergi. Pertemuannya tidak terduga, dia baik-baik saja, kemungkinan hidupnya juga sudah berubah wajahnya segar sekali.
"Teman dekatmu?" Tanya Guro padaku yang lagi mengenakan celemek.
"Ya, teman sekolah." Jawabku.
"Imut juga ya? Adakalanya kita merasa pangling dengan orang yang kita kenal."
Paman Guro benar, semua orang berubah, tapi apa aku juga berubah di mata mereka? Menjadi lebih baik atau buruk, apa yang sebenarnya aku pedulikan soal ini. Mungkin aku hanya takut tersaingi atau lebih tepatnya iri dengan mereka semua yang punya harapan jelas.
Besok harinya keluargaku serta calon suami Saki ikut berlibur ke pantai, tadinya aku juga ingin pergi bersama mereka namun, telepon ponselku berdering dapat panggilan dari nomor yang asing. Aku kira dari rumah Chiyo atau paman Guro yang biasa meminta bantuan padaku soal pekerjaan, yang membuat terkejut panggilan itu berasal dari Moona, sudah sejak 2 hari semenjak aku memberikan nomorku padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHITE LITERATURE
Teen FictionAku telah mati. Sesosok mahkluk hitam memberi tahu bahwa aku diberi kesempatan untuk hidup di dunia untuk mengingat "dosa" yang sangat besar. Dia berkata bahwa hidupku dan rohku akan hilang jika tidak menyelesaikan "dosa" yang telah kuperbuat. Rohku...