Chapter 20. Pernikahan

51 7 0
                                    

Waktu telah tiba acara diadakan ditempat yang sudah kami sewa dalam ruangan yang tidak terlalu luas juga tidak terlalu sempit. Aku menunggu di atas altar suci dengan disaksikan kedua keluarga dan beberapa pengujung lain yang tidak aku kenali. Sosok putih muncul dari balik pintu besar berjalan dengan halus dituntun oleh sahabatku Jima dengan elegan, lantainya serasa dihiasi oleh awan bergelombang. Aku sangat berterima kasih pada Kristy yang sudah mau mendesain baju.

Setelah sampai aku memegang kedua tangan saling berhadapan, tangannya yang dibalut oleh panjang sarung tangan putih, aku bisa merasakan bahwa dia sedang gugup, tersenyum aku merasakan itu dia juga menahan rasa malunya dari penutup kain putih transparan pada wajahnya. Aku eratkan cengkraman tangan dengan begitu dia tidak perlu merasa khawatir.

Kami mendengarkan kata-kata sakral sebagai memperkuat ikatan kita. Setelahnya selesai aku membuka penutu wajah transparan pada wajahnya itu menyingkapkan ke belakang rambutnya, kami berdua telah bersatu. Begitu hangat dan lembut, tidak pernah kusangka ini bagai mimpi dalam mimpi, kami bahagia.

"Selamat Zen dan juga Chiyo, selamat atas pernikahan kalian." Kristy menyambutku pertama kali dibarengi oleh Jima yang memberikan tepukan tangan meriah.

Tidak selang lama datang lagi seseorang. "Selamat ya Zen, apa kamu masih ingat? Ini ambil hadiah dariku." Dia adalah Helena, memberikan sebuah kado yang besar dan agaknya berat sekali.

Aku tidak bisa mengatakan satu persatu rasa terima kasihku pada mereka yang pasti aku tampilkan wajah bahagia kami berdua. Sesi foto sudah kami lakukan dan juga berfoto bersama keluarga juga sudah, paling heboh ibu Maya dia ingin sekali berfoto bersama.

Ada sesuatu hal yang harus aku lakukan setelah ini, jadi aku tinggalkan acara itu sebentar saja. Baru saja melangkah keluar dari pintu besar di mana itu adalah acara kami, Yuji kelihatannya sengaja menungguku dari luar.

"Maaf Zen, aku tidak masuk ke dalam soalnya tempatnya sudah penuh." Dia menggaruk kepalanya sengaja. "Kau tahu itu adalah alasanku, aku hanya masih tidak ingin Chiyo pergi terlalu jauh. Tapi, setelah melihatmu berjuang dalam tantangan aku menjadi mengerti perasaan kedua orang tua Maya akhirnya aku tahu rasanya menjadi seorang Ayah." Dia tidak memandang wajahku sama sekali.

"Ya, aku rasa aku mengerti. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan aku pasti akan menjaganya dengan sepenuh hati dengan nyawaku sendiri, Chiyo sangat mengajarkanku apa artinya hidup." Terangku apa yang ada dalam kepala.

"Begitu... terima kasih, Zen."

"Aku yang harusnya berterima kasih."

Aku langsung lari menuju rumah kala itu aku benar-benar ingin melihat surat yang aku simpan. Ketika aku buka pintu, aku sempat bingung rumahku tidak dikunci apa mungkin ada seseorang yang sudah duluan datang.

Bergegas naik ke atas kamarku di lantai dua lalu membuka pintu kamarku, seketika aku terdiam, sedikit takut dan berkeringat dingin laci mejaku di buka dia memegangi surat biruku. Aku tidak tahu harus mengatakan apa di saat kondisi ini, sedih atau bahagia bahkan tidak percaya bahwa itu benar-benar terjadi.

"Yo, bocah, kau apa kabar?" Asap tebal hitam itu mengumpul disatu tempat. "Sepertinya kamu tidak butuh surat ini ya?" Dia merobek-robek menjadi bagian sangat kecil dan tidak bisa lagi dirangkai.

"Kenapa? Bukankah itu untukku?" Tanyaku padanya sembari mengumpulkan beberapa potongan di lantai.

"Kau sekarang sedang bahagia, jadi aku rasa kau tidak membutuhkan ini. Aku datang ke sini untuk mengambil itu saja." Dia langsung pergi menuruni tangga.

"Tunggu, tunggu dulu Theodore!" Aku sudah tahu namanya ketika pertama aku melihat dan sekarang baru berani memanggilnya. "Apa maksud dari semua ini? Apa aku benar-benar hidup? Apa ini hanyalah mimpi setelah kematianku?"

Dia pergi ke taman kanak-kanak di dekat komplek, aku mengikutinya dari belakang. Dia duduk di ayunan aku duduk di sebelahnya ayunan itu ada tiga. Aku masih tidak mengerti tentang ini, kenapa Theo pergi begitu saja setelahnya sedangkan aku lagi dalam masa rehabilitas jiwa.

"Theo, katakan padaku. Aku tahu aku sudah membunuh manusia," Theo mengangguk, "Aku melukai hati seseorang, aku... mencelakai orang. Aku merasuki diriku sendiri, aku membunuh diriku sendiri, aku juga melukai hati ibuku, teman masa kecil aku buat dia menderita hingga tidak bisa melihat. Aku sudah mengetahui semua dosa-dosaku bukankah aku lulus dalam rehabilitas ini? Lalu... lalu bagaimana dengan reinkarnasinya? Aku telah memenuhi persyaratannya bukan?" Cecarku terus agar Theo mau menjelaskan semuanya.

"Kau berbicara seperti itu orang lain akan menganggapmu gila." Theo mengalihkan pembahasan.

"Tidak peduli! Aku... memangnya layak mendapatkan ini?"

"Zen, harus kukatakan sekali lagi. Bahwa manusia melakukan beragam macam dosa adalah fitrah mereka, sekejam apapun manusia mereka tetaplah manusia jadi kamu tidak ada bedanya dengan yang lain hanya lebih tumbuh menjadi baik bukan?" Jelasnya padaku namun, jawaban itu masih belum bisa membuatku puas.

"Tapi—"

"Hentikan, Zen. Aku tidak memiliki wewenang untuk itu. Layak atau tidaknya dirimu untuk hidup bukan kita yang menentukan tapi dirimu sendiri. Aku tanya padamu, apakah kamu layak untuk hidup? Bagaimana dengan kesempatan ini, apakah kamu merasa bahwa kamu sanggup melakukannya? Hanya dirimu seorang yang beruntung, sudah aku katakan bahwa kamu adalah roh yang beruntung." Seraya Theo berdiri dan memainkan anak kucing di pasir yang sedang menggeliat. "Kau adalah orang yang pernah hidup di alam dunia yang berbeda, kau sendiri paham apa itu kematian? Apa itu kehidupan? Mereka semua saling berpasangan Zen, jika ada yang bertanya kenapa, karena di dalam itu ada makna yang tidak pernah orang sadari."

"Theo... apa jangan-jangan kau... manusia? Siapa kamu, apa aku mengenalimu?" Aku merasakan sesuatu dari kata-katanya.

"Kenapa bisa sampai menyimpulkan hal itu? Memangnya aku terlihat seperti manusia?"

"Dari ucapanmu, dari emosimu, aku bisa tahu. Kau masih memiliki perasaan dalam dirimu. Kenapa kau membantuku?"

"Zen?" Chiyo datang menemuiku bersama dengan ibuku. "Sedang apa kamu di sini?"

"Aku? Hanya bertemu dengan teman lama." Ketika aku melirik ke arah Theo dia sudah menghilang tanpa jejak.

Sampai saat ini aku tidak tahu siapa itu Theodore, kendati demikian kehidupan yang aku diberikan sama sekali tidak buruk. Seandainya aku mati pada saat bunuh diri, aku tidak akan pernah merasakan berbagai macam kenangan dan perasaan. Aku hidup.

Siapapun kamu, harus tetap hidup dengan begitu berbagai macam momen akan selalu menghampirimu meski butuh bertahun-tahun menikmati perubahan. Dosa mengubahku menjadi lebih baik bahkan hingga saat ini pun aku ragu Chiyo mau memaafkanku tetapi melihatnya penuh senyum saja sudah puas memenuhi rasa kosong di hati.

"Terima kasih banyak." 

WHITE LITERATURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang