New Meats
Pangkalan Militer Bonifas, Kota Paju, Provinsi Geonggi, Korea Selatan.
Empat belas orang-orang pilihan dari berbagai daerah Negara Ginseng tiba di markas bentukan PBB itu tepat pada pukul tujuh pagi di pertengahan bulan November. Termasuk di antaranya para prajurit, dokter, dan perawat. Mereka segera digiring menuju lapangan utama di bagian tengah markas untuk melakukan apel penyambutan sederhana.
Hanya ada empat pria berseragam loreng di dekat tiang bendera. Satu pria bertubuh paling besar, Kolonel berambut pirang serta paras khas orang barat yang sudah pasti merupakan Komandan Batalyon, serta tiga dari enam Kapten pemimpin kompi-kompi penghuni markas tersebut. Pria Amerika yang memperkenalkan diri sebagai Blade Fredricson itu mengucapkan beberapa kalimat selamat datang dan sedikit menjelaskan peraturan umum markas dalam bahasa Inggris dan sedikit Korea yang selesai kurang dari sepuluh menit.
Benar-benar sebuah penyambutan sederhana. Namun, tak sesederhana itu bagi pria 29 tahun bernama Kim Taejun. Jantungnya telah berdebar kencang sejak ia menerima surat pemberitahuan bahwa lamaran kerjanya diterima dan dirinya dinyatakan memenuhi kualifikasi sebagai dokter yang akan ditugaskan di zona demiliterisasi, daerah bebas aktivitas militer -sekaligus daerah paling berbahaya dalam wilayah Korea Selatan maupun negara saudaranya, Korea Utara- sebulan lalu.
Ini bukan tentang tugas yang menuntutnya untuk selalu siaga 24/7 atau area yang bisa menjadi medan pertumpahan darah kapan saja. Lebih dari apapun, kedatangannya kali ini akan menjadi reuni yang paling ia nantikan sekaligus ia takutkan.
"Kapten Jeon akan menjelaskan lebih detail segala hak dan kewajiban kalian di Camp ini. Tanyakan apapun yang belum kalian pahami. Dan ingat satu hal." Sang kolonel menunjuk satu arah di samping tempat ia berdiri, kemudian melanjutkan kalimatnya, "Orang-orang di seberang garis demarkasi itu adalah saudara kita. So please always be kind, but stay save!" tutup Kolonel Fredricson sebelum balik kanan untuk meninggalkan lapangan.
Tak sampai satu tarikan napas, barisan telah diambil alih dan disiapkan oleh pria yang ditunjuk. Dia seorang pemuda oriental bermata bulat. Tatapannya selalu tajam, dipertegas oleh wajah dingin yang hampir tak pernah menunduk. Tubuhnya tak lebih tinggi dibanding Fredricson, tetapi tampak sangat bugar, pertanda latihan beban atau bela diri atau perpaduan keduanya, berjam-jam dalam sepekan. Dia mengedarkan pandangan pada satu persatu orang baru di hadapannya sejenak sebelum menginstruksi, "Ambil kembali barang-barang kalian sekarang dan ikuti aku."
Tanpa menunggu lagi, keempat belas anggota baru camp itu segera menggeret koper-koper serta menggendong tas mereka mengikuti langkah sang kapten. Mereka diarahkan menuju bangunan sayap kanan, asrama para tentara dan tenaga medis.
"Kamar wanita di sebelah sana, masing-masing berisi dua ranjang. Penjaga Choi akan mengantarkan kalian meletakkan barang. Segeralah kembali ke lobi ini dalam 15 menit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rose Petals By The Frontier
General FictionIni kisah tentang kasih sayang, kerinduan, dendam, dan penyesalan. Tentang tiga lapis pagar besi berduri pemutus dua peradaban, pemisah sanak dari saudara, para suami dari istri, serta anak-anak dari orang tuanya. Namun, suatu ketika perbatasan itu...